MUHAMMADIYAH.OR.ID, PURWOREJO – Peserta didik tidak boleh hanya sekadar bisa membaca, tapi juga harus bisa memahami yang dia baca. Fenomena itu terjadi yang dalam penelitian dari UNESCO disebut dengan schooling without learning.
Hal itu disampaikan oleh Mendikdasmen RI, Abdul Mu’ti pada Kamis (22/5) dalam Seminar Nasional PGSD 2025 yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Purworejo (UMPWR) secara blended.
Temuan UNESCO itu, sambung Mu’ti, menjadikan peserta didik meskipun belajar berhitung atau matematika, akan tetapi dia tidak bisa berhitung, dan tidak menguasai logika matematika.
“Maka akibat dari schooling without learning itu adalah nilai berbagai macam penilaian itu rendah. PISA itu tidak hanya rendah di kita, di banyak negara juga rendah,” katanya.
Masalah selanjutnya itu adalah learning loss – kehilangan banyak hal dari masa ke masa. Fenomena ini terjadi sebagian karena Pandemi Covid-19. Pembelajaran jarak jauh yang dimediasi ruang digital, memang canggih, tapi meninggalkan masalah untuk pembelajaran.
“Learning loss ini belum selesai recoverynya, bahkan sekarang mulai terlihat dampaknya,” katanya.
Dampak tersebut sebagaimana yang sempat viral beberapa waktu lalu tentang seorang siswa SMP yang tidak bisa membaca. Mu’ti mengakui bahwa sampai sekarang untuk menangani learning loss ini butuh waktu untuk merecovery.
Merespons itu, Kemendikdasmen saat ini untuk merecovery berbagai masalah tersebut melalui kebijakan seperti perbaikan guru – sebab guru punya peran penting menentukan keberhasilan belajar dan memotivasi belajar.
“Mengajar itu menginspirasi, bukan menjejali murid dengan berbagai macam yang macam-macam,” katanya.
Di hadapan civitas akademika UMPWR Mu’ti menyebut, untuk menciptakan pendidikan yang baik di Indonesia tidak kemudian meniru sistem pendidikan di negara-negara maju seperti Finlandia.
“Sehingga belajar itu harus kita geser dari orientasi angka-angka ke arah orientasi ilmu, sehingga dengan deep learning itu kita didorong untuk belajar tidak hanya mendapatkan ilmu, tapi kita juga yang mengembangkan ilmu itu,” katanya.
Deep learning dan teaching menurutnya tidak sekadar transfer ilmu, tapi proses transformatif. Mu’ti menjelaskan, ketika deep learning diterapkan, materi pelajaran tidak dikurangi. Melainkan yang dikurangi adalah pokok-pokok bahasan dalam materi pelajaran.