Imron Rivaldi akhirnya pulang ke Garut setelah sekian lama merantau. Baru saja ia merebahkan tubuh di kasur tua peninggalan neneknya, ponselnya bergetar hebat. Kotak masuknya menampilkan undangan pernikahan dari sahabat lamanya, Mohammad Fadli.
“Akhirnya, Lord Fadli melepas status non-marital,” gumam Imron sambil tersenyum kecil, membayangkan Fadli yang dulu terkenal cuek soal cinta kini akan berumah tangga.
Beberapa hari kemudian, Imron bertemu dengan Fadli dan teman mereka yang lain, Dayat Sudrajat, di sebuah warung kopi sederhana. Awalnya, Imron mengira pertemuan ini untuk memikirkan nasib umat Islam di kancah global, lengkap dengan segala nasihat untuk memikirkan peradaban.
Tapi, dugaan itu buyar ketika Fadli membuka mulut. Di balik senyumnya yang dipaksakan, Fadli mengaku masih terjebak dalam bayang-bayang cinta masa lalunya tetapi harus segera menikah. Baginya, menikah saat ini bukan lagi tentang kebutuhan biologis, tapi keharusan sosial.
“Begitu dipaksa buat nikah sama pilihan orang tuaku, tapi tiba-tiba, dia, mantanku, muncul lagi, ngomongin perasaannya yang dulu nggak pernah dia ungkap,” keluh Fadli, matanya menerawang jauh.
Imron mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba memahami pergolakan batin sahabatnya itu. Kisah Fadli memang klise. Mirip sekali dengan roman klasik atau novel teenlit yang pernah Imron baca sewaktu SMA.
Tapi, melihat ekspresi Fadli yang lebih mirip Majnun ketimbang pria platonis adiluhung, Imron tahu ini bukan sekadar drama biasa. Ini nyata, dan getirnya terasa sampai ke meja perundingan mereka.
“Kenapa dia minta balikan di saat genting kayak gini, Dli?” tanya Imron.
Sayangnya, momen curhat yang seharusnya jadi ajang pelepas beban itu malah berantakan. Dayat tak bisa menahan diri untuk ikut nimbrung.
“Ya Tuhan, Fadli, kamu masih mending lah! Punya calon istri, masih ada yang ngejar pula. Aku? Nganggur udah dua tahun, hidupku kaya kapal karam,” Dayat nyerocos.
“Eh, tapi aku stres banget, Dayat. Kerjaan numpuk, hati galau, duit juga pas-pasan. Bayangin, nikah bentar lagi, tapi pikiran malah balik ke masa lalu.”
“Kok bisa, Dli? Apa calon istrimu udah tau?” tanya Imron mencoba mengembalikan lampu percakapan pada masalah Fadli.
“Kalau masih punya uang harusnya kamu bersyukur, Dli! Aku malah nggak punya apa-apa. Baju lebaran aja pakai yang tahun kemarin, udah kusut, bolong pula di siku!” kata Dayat.
“Stresku beda, Yat. Aku takut salah pilih jalan hidup. Nikah itu keputusan besar, tapi mantanku tiba-tiba chat, bilang dia nyesel. Aku jadi ragu, ini bener apa nggak jalanku?”
“Salah pilih jalan hidup? Aku malah nggak punya jalan sama sekali, Dli!”
Imron yang awalnya ingin ikut curhat soal pekerjaannya yang tak kunjung selesai akhirnya memilih diam, menyaksikan kedua temannya saling adu nasib.
“Eh, tapi aku beneran bingung, Yat! Mantanku kemarin nelpon, nangis-nangis minta ketemu. Aku takut calon istriku tahu, ini udah mau resepsi, tapi hati aku kacau banget!”
“Ya Tuhan, Dli, aku jangankan nikah, makan sehari dua kali aja harus ngutang ke warung! Kemarin aku lupa bayar utang, ibu warung dateng ke rumah, teriak-teriak depan tetangga. Malunya sampe ke ubun-ubun, Dli!”
“Kamu nggak ngerti, Yat. Aku takut nikah cuma jadi pelarian. Aku sayang sama calon istriku karena dia pilihan orang tuaku, tapi mantanku bilang dia masih nunggu aku bertahun-tahun. Aku harus apa? Ini soal hati, bukan cuma duit!”
“Aku paham, Dli, aku cuman mau kalau kamu tuh bersyukur, ada yang lebih menderita daripada kamu, yaitu aku, dan mungkin juga si Imron.”
“Aku? Kalian aja deh yang menderita, aku nggak ikutan,” jawab Imron.
Di tengah percakapan yang kian memanas, Imron mulai kesal. Bukan karena Dayat berhasil “menang” dalam kompetisi “hidup siapa yang paling sial,” tapi karena sorot lampu percakapan terus berpindah dari satu keluh kesah ke keluh kesah lainnya. Alih-alih saling menguatkan, mereka malah sibuk memamerkan luka masing-masing.
“Ini bukan curhat lagi, ini pamer kesedihan,” kata Imron mengakhiri diskusi pada malam itu.
Pertemuan itu tak membuahkan hasil apa-apa. Fadli masih terlihat murung, memandangi cangkir kopinya yang sudah kosong, sementara Dayat terus saja mengeluh. Waktu terus berjalan, dan malam semakin larut. Di luar, langit mulai mendung dan waktu sahur hampir tiba.
Mereka akhirnya memutuskan pulang, tapi suasana tetap tegang. Fadli berjalan dengan langkah berat, pikirannya masih berkutat pada dilema hatinya. Dayat masih sempat berbalik ke arah Imron dan berkata, “Besok aku cerita lagi, ya, hidupku lebih susah daripada sinetron di Indosiar!”
Imron hanya mengangguk lelet, tak tahu harus menjawab apa. Mereka berpisah di ujung jalan, meninggalkan meja warung kopi yang penuh cerita tak selesai, sementara angin malam membawa hawa dingin menjelang sahur.
Sesampainya di rumah, Imron mulai merenung. Ada pola aneh dalam cara manusia berkomunikasi, terutama saat curhat. Orang sering kali tak sadar menjadikan kesedihan sebagai alat untuk merebut perhatian, bahkan dengan niat baik sekalipun.
Kalian harus bersyukur, masih ada yang lebih susah, kata-kata klise itu memang sering terucap, tapi Imron kini paham ada sisi gelap di baliknya. Para psikolog menyebutnya toxic positivity: motivasi yang seolah positif tapi justru menyakiti.
Dari semua kekacauan itu, Imron belajar sesuatu. Curhat itu ada metodologinya. Jika ada teman yang sedang ingin mengeluh, biarkan mereka bersedih sepuasnya. Jangan buru-buru menghibur dengan memamerkan kesialan diri sendiri, apalagi dengan kalimat “bersyukur dong.”
Dalam Islam, ini selaras dengan adab bicara dan mendengar—QS Al-A’raf ayat 204 mengingatkan kita untuk jadi pendengar yang baik, dan Rasulullah melarang umatnya meremehkan penderitaan orang lain.
Jadi, saat Fadli curhat tentang cinta masa lalunya, Imron memilih diam dan mendengarkan. Tak ada nasihat bijak, tak ada adu nasib. Hanya secangkir kopi dan telinga yang terbuka. Karena sejatinya, metodologi curhat yang baik dan benar adalah tentang memberi ruang, bukan merebut panggung.
Belum sempat tidur, tiba-tiba pintu kamar Imron ada yang mengetuk.
“Imron, cepet bangun! Sahur, sahur!” Itu suara Bu Elis Markonah, ibu Imron
“Ya Tuhan, Bu, aku baru aja mo tidur, capek banget, tidurku kurang.”
“Kamu masih mending, Mron, Ibu semaleman bikin kue buat lebaran,” jawab Bu Elis.
Imron tersentak, lalu tersenyum kecut, menyadari bahwa tiap-tiap orang ingin sekali keluh kesahnya didengarkan, direspons, dan diafirmasi. Dalam hati, ia kembali teringat pelajaran malam itu bersama Fadli dan Dayat: curhat sejati bukan tentang siapa yang paling menderita, melainkan tentang saling memberi ruang untuk berbagi dan diterima.
Hindari ucapan ‘kamu masih mending’, itu intinya, kata Imron dalam hati.
Keesokan harinya, suasana di rumah Imron sedikit lebih ramai dari biasanya. Paman Imron, yang biasa dipanggil Pak Ujang, datang dengan langkah santai tapi penuh wibawa, membawa amplop-amplop kecil yang sudah jadi tradisi keluarga menjelang Lebaran.
Pak Ujang duduk di kursi kayu tua di tengah ruangan, mulai memanggil satu per satu nama keponakannya yang di bawah umur. “Ilyas, sini dulu!” katanya dengan suara yang sedikit serak.
Ilyas Ibrahim, adik Imron yang masih SD, buru-buru nyamperin dengan senyum lebar, tangannya sudah siap terbuka. Pak Ujang ngeluarin selembar uang Rp50.000 dari amplop cokelat yang agak kusut, lalu nyodorin ke Ilyas.
“Ini buat kamu, beli es krim atau apa kek,” ujar Pak sambil nyengir.
“Horeee!”
“Buat aku ada nggak, Om?” pinta Imron.
“Kamu udah besar, ini cuman buat anak-anak, Mron.”
Tapi, begitu Ilyas melihat nominalnya, dengan keheningan yang polos Ilyas malah protes, “Masa cuma segini, Om?”
“Kamu masih mending!” cerocos Imron.
#KontrakanImron