MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara yang dermawan selama tujuh tahun berturut-turut, kemiskinan dan ketimpangan sosial masih menjadi masalah yang sampai saat ini belum terselesaikan. Tata kelola zakat dan ekosistem filantropi yang belum optimal menjadi salah satu faktor utama penyebab masalah ini belum teratasi.
Hal itu terungkap dalam acara Talkshow berjudul “Zakat Memakmurkan Semua” yang digelar Lazismu bersamaan dengan rangkaian Kick Off Program Ramadhan 1446 H/2025 di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta pada Kamis (13/2).
Dalam diskusi tersebut, Ameli Fauzia selaku narasumber menyoroti ketimpangan sosial di Indonesia. Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara yang paling dermawan di dunia, Ameli justru mempertanyakan mengapa masih banyak mustahik dan problem sosial yang belum teratasi dengan baik.
“Negara kita sudah tujuh tahun berturut-turut didapuk sebagai negara yang paling dermawan. Pertanyaannya, mengapa mustahik masih banyak dan problem sosial masih ada? Apakah potensi zakat tidak semuanya terkumpul dengan baik atau apa sebenarnya yang terjadi?” ujarnya.
Peneliti filantropi dari Social Trust Fund UIN Jakarta ini menilai bahwa ekosistem lembaga filantropi Indonesia masih belum maksimal dalam tata kelolanya. Ia menekankan pentingnya sinergi antar berbagai sektor dalam pengelolaan zakat. “Kemakmuran bukan hanya tugas lembaga filantropi, tapi merupakan tugas kita bersama pemerintah, dan swasta. Semua harus bersinergi agar dampaknya lebih luas” paparnya.
Ameli mengapresiasi langkah Lazismu yang telah melakukan berbagai survei internal dan terobosan dalam penyaluran dana termasuk kepada komunitas non-muslim. “Lazismu saya pikir adalah contoh bagus dan berani untuk melakukan terobosan di mana donasi yang disalurkan tidak hanya di komunitas muslim tapi di komunitas non-muslim dan inilah bentuk filantropi yang inklusif dan berkemajuan” ungkapnya.
Sementara itu, Mujadid Rais selaku Ketua Badan Pengurus Lazismu Pusat menyoroti perlunya reformasi tata kelola lembaga amil zakat di Indonesia. Ia menyebut bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai lebih dari Rp. 300 Triliun, tetapi yang baru terkumpul hanya Rp. 40 Triliun. “Bayangkan, potensi zakat kita begitu besar tetapi yang berhasil dihimpun masih sangat jauh dari harapan. Sementara itu, bantuan sosial yang digelontorkan negara sebesar Rp 500 triliun. Ini menunjukkan bahwa tata kelola zakat perlu diperbaiki dan penghimpunannya harus benar-benar dimaksimalkan” ungkap Mujadid.
Selain itu, Mujadid juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam ekosistem filantropi. “Lazismu ingin mendorong penguatan ekosistem filantropi, terutama pada aspek profesionalitas, transparansi, akuntabilitas, dan dampak program yang berkelanjutan, bukan hanya untuk kebutuhan jangka pendek,” katanya.
Sebagai penutup, ia menegaskan bahwa zakat harus menjadi instrumen yang lebih strategis dalam mendorong pemerataan kesejahteraan. “Sekali lagi, perlu kerja-kerja kolaboratif dan menjadi konsen bersama karena saya pikir ini jadi tantangan kita semua. Saya setuju bagaimana peran zakat secara inklusif bisa menyentuh kalangan yang lebih luas, termasuk kelompok rentan seperti difabel dan perempuan, serta terbuka bagi kelompok lain yang berada dalam situasi memprihatinkan,” tutupnya. (ain)