Tidak banyak organisasi Islam sanggup bertahan melampaui usia satu abad. Lebih-lebih ketika jangkauan massanya besar dan kadang bersinggungan paham dengan kekuasaan. Namun, Muhammadiyah mampu melakukannya.
Dengan membawa identitas gerakan amar makruf nahi munkar, Muhammadiyah telah melalui lima zaman: masa Kolonial (Belanda; Jepang), Revolusi, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.
Selain mendukung kebijakan yang berpihak pada pribumi dan kaum muslimin, tak jarang Muhammadiyah melontarkan kritik ketika kebijakan itu merugikan.
Penguasa di masanya dari Sultan, Gubernur Jenderal, Gunseikanbu, hingga Presiden pernah berbeda pendapat dengan Muhammadiyah. Uniknya, dinamika—yang kadang tajam—tidak membuat pemangku kekuasaan merasa terancam, apalagi sampai kemudian melarang pergerakan organisasi ini.
Sebutlah masa-masa tegang saat kebijakan Ordonansi Guru, pemberlakuan Asas Tunggal, dan lain-lain. Muhammadiyah tetap mampu bersuara kritis dan mengadvokasi kepentingan umat.
Lantas, apa yang membuat suara-suara kritis Muhammadiyah terartikulasi?
Amar Makruf Nahi Munkar Tapi Tidak Reaksioner
Sebagian kelompok Islam menganggap kewajiban amar makruf nahi munkar sebagai sikap yang mesti heroik, kolosal, konfrontatif dan reaksioner. Jika berhadapan dengan penguasa, maka ia diposisikan biner sebagai oposisi. Konsep inilah yang dihindari oleh Muhammadiyah.
Meski membawa identitas amar makruf nahi munkar, Muhammadiyah memiliki dimensi berbeda, yaitu tajdid (pencerahan). Tajdidnya pun harus sesuai dengan Manhaj Tarjih yang terdiri dari tiga unsur: bayani (dalil), burhani (ilmu pengetahuan), dan irfani (hikmah). Keduanya (amar makruf nahi munkar dan tajdid) adalah satu kesatuan gerak yang tidak boleh dipisahkan.
“Muhammadiyah adalah gerakan amar makruf nahi munkar dan tajdid”
(Pasal 4 Anggaran Dasar Muhammadiyah)
Dengan demikian, upaya menunaikan amar makruf nahi munkar di Muhammadiyah tidak boleh kehilangan ruh tajdid, begitu juga sebaliknya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir sering menyebutnya sebagai gerakan yang memakai pendekatan dakwah kultural (lil-muwajahah) dan bukan gerakan reaksioner (lil-mu’aradhah).
Penekanan Haedar, dimaksudkan agar anggota, warga, dan pegiat Persyarikatan menginsafi hakikat Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah. Karenanya, sikap terhadap kekuasaan selalu berdimensi politik kebangsaan dan bukan politik praktis layaknya organisasi politik atau partai politik.
“Muhammadiyah tidak jadi benalu di sistem kekuasaan, sedemikian Muhammadiyah juga bukan menjadi oposisi, sekaligus juga tidak anti kekuasaan. Di situlah posisi Muhammadiyah,” tegas Haedar Nashir.
Tidak Memiliki Tradisi Oposisi, Melainkan KKE: Kritis, Konstruktif, Etis
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak memiliki tradisi oposisi. Setajam apapun kritik yang disampaikan Muhammadiyah, tetap berada dalam koridor KKE: Kritis, Konstruktif, dan Etis.
Kritis dalam arti berbasis keilmuan (objektif), Konstruktif dalam arti menawarkan solusi alternatif, dan Etis dalam arti menyampaikannya melalui kanal-kanal resmi, konstitusional atau lewat jalur kultural yang arif (bil-hikmah wal-mau’idhatil hasanah).
Meski cara tersebut tidak populer dibanding cara konfrontatif, namun menurut Ridho Al-Hamdi cara ini lebih banyak membuahkan hasil. Muhammadiyah, menurut Al-Hamdi lebih memosisikan diri sebagai “mitra kritis“ dibanding kategori biner “loyalis” atau “oposisi“.
Basis Ideologi Muhammadiyah
Sifat tengahan (at-tawasuth), toleran, dan terbuka untuk kerja sama dalam kebajikan (at-ta’awun) sering ditekankan oleh Muhammadiyah dalam pikiran-pikiran resminya.
Untuk diketahui, pikiran resmi Muhammadiyah berasal dari rumusan bersama pimpinan Persyarikatan lewat forum tertinggi organisasi, baik Tanwir maupun Muktamar. Pikiran resmi berisi tentang pandangan alam, ideologi, moral, hingga sikap etis Muhammadiyah terhadap berbagai lini kehidupan. Termasuk sikap ideal Muhammadiyah dan warganya kepada negara, pemerintah, dan golongan masyarakat sipil lainnya.
Sejauh ini, ada 19 pikiran resmi yang telah dirumuskan. Dokumen tersebut antara lain:
Muqaddimah Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah (1951); Masalah Lima (1955); Khittah Palembang (1956); Kepribadian Muhammadiyah (1962); Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) (1969); Khittah Ponorogo (1969); Khittah Ujung Pandang (1971); Khittah Surabaya (1978); Manhaj Tarjih dan Metode Penetapan Hukum dalam Tarjih Muhammadiyah (1989); Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (2000); Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (2000); Khittah Denpasar (2002); Dakwah Kultural Muhammadiyah (2004); Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad (2005); Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua (2010); Negara Pancasila sebagai Dar al-‘Ahdi wa al-Syahadah (2015); Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna (2015); Risalah Pencerahan (2019); dan Risalah Islam Berkemajuan (2022).
Paham Ideologi Gerakan, Muhammadiyah Luwes Mengisi Politik Kebangsaan
Di samping gemar membantu pemerintah dalam bidang sosial, pendidikan, kesehatan, dan agama, Muhammadiyah tidak segan untuk melemparkan kritik keras jika suatu kebijakan merugikan masyarakat kecil dan kaum muslimin.
Namun, ketegangan yang tajam antara Muhammadiyah dengan pemerintah, jarang terjadi secara organisasi. Kecuali ketegangan yang muncul dari tokoh-tokohnya, yang dalam hal ini tidak selalu mewakili sikap organisasi.
Sekian contoh dari ketegangan ini misalnya saat terjadi ketegangan tokoh-tokoh Muhammadiyah dengan pemerintah Kolonial Belanda, Orde Lama dan Orde Baru.
Di masa Orde Baru, beberapa tokoh Muhammadiyah sempat memanas dengan pemerintah, khususnya karena kebijakan penerapan Asas Tunggal. AM Fatwa yang dijuluki “Si Kepala Granit” oleh rezim karena kritik-kritiknya sempat menjadi tahanan politik pasca penolakan Asas Tunggal dan tragedi Tanjung Priok.
Meredam gejolak, Muhammadiyah diwakili oleh Ketua Umumnya, KH AR Fachruddin menyatakan menerima Asas Tunggal. Kekhawatiran umat jika Asas Tunggal merusak akidah dia bantah dengan pengibaratan “memakai helm”.
Di masa Orde Lama, beberapa tokoh Muhammadiyah juga sempat memanas dengan pemerintah karena ketegangan politik saat itu. Buya Hamka bahkan didakwa subversif dan dipenjara oleh Presiden Sukarno pada 27 Januari 1964.
Meredam gejolak, Muhammadiyah di bawah kepemimpinan KH Ahmad Badawi justru memberi anugerah Bintang Muhammadiyah kepada Sukarno satu tahun kemudian.
Anugerah diberikan untuk menghargai jasa Sukarno kepada Persyarikatan. Nampak jika KH Badawi tidak ingin kaum muslimin yang marah pasca penahanan Hamka, menjadi gelap mata dan menidakkan banyak peran Sukarno kepada Islam dan Persyarikatan. Lagipula, Sukarno adalah kader dan anggota Muhammadiyah.
Bedakan Sikap Warga Muhammadiyah dan Sikap Organisasi
Sekelumit contoh di atas menunjukkan kemampuan Muhammadiyah dalam menjalankan kewajiban amar makruf nahi munkar dalam porsi yang berbeda.
Meski mungkin sama-sama memahami ideologi Muhammadiyah, tanggung jawab antara sikap pribadi tokoh sama sekali berbeda dengan tanggung jawab organisasi. Haedar Nashir sering mengibaratkan organisasi Muhammadiyah sebagai pesawat Airbus yang tidak bisa dikemudikan layaknya manuver pesawat jet karena justru akan membahayakan eksistensi Muhammadiyah itu sendiri.
Sikap seksama yang ditunjukkan oleh organisasi menunjukkan komitmen Muhammadiyah untuk memperjuangkan misi jangka panjang dibanding misi sesaat lewat isu-isu politik tertentu.
“Maksud Persyarikatan (Muhammadiyah) yaitu, 1) memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama di Hindia Belanda; 2) dan memajukan dan menggembirakan kehidupan sepanjang kemauan agama kepada lid-lidnya.“ (Statuten Muhammadiyah 1914)
Cara beramar makruf nahi munkar kepada kekuasaan juga menunjukkan komitmen Persyarikatan untuk menjaga keutuhan NKRI sebagaimana tertulis dalam dokumen Risalah Islam Berkemajuan hlm. 80:
“Negara yang telah diletakkan fondasinya oleh para pendiri harus dirawat dan dikembangkan dengan baik sehingga menjadi kokoh dalam menghadapi tantangan zaman.”