MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Talal Asad memperkenalkan konsep Islam sebagai sebuah tradisi diskursif. Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhamad Rofiq Muzakkir mengatakan bahwa pemikiran ini mendapat pengaruh dari beberapa pemikir besar seperti Alasdair MacIntyre, Michel Foucault, dan Pierre Bourdieu.
Melalui tradisi diskursif, Rofiq menjelaskan bahwa Asad menggambarkan Islam sebagai serangkaian wacana yang berkembang secara historis dan diwujudkan dalam praktik serta institusi masyarakat Islam. Dalam hal ini, ajaran-ajaran Islam tidak hanya hadir sebagai ide tetapi juga sebagai praktik nyata yang meresap ke dalam kehidupan material umatnya.
“Kalau kita ingin melakukan penelitian antropologi kepada masyarakat muslim, maka harus melihat aspek moda penalarannya, cara mereka bernalar. Mereka bernalar berdasarkan tradisi diskursif, yaitu Al Quran, Hadis, dan pendapat para Ulama (turats),” ucap Rofiq dalam acara Pengembangan Fikih Keindonesiaan: Teori dan Metodologi dalam Prespektif Antropologi yang diselenggarakan Universitas Islam Indonesia.
Salah satu murid Asad, Charles Hirschkind, menjelaskan bahwa tradisi diskursif Islam merujuk pada wacana yang berkaitan erat dengan sumber-sumber utama seperti Al-Quran, Hadis, dan pendapat ulama. Dengan kata lain, masyarakat Muslim membentuk cara berpikir dan bertindak mereka berdasarkan kerangka tradisi ini. Sehingga, jika seorang peneliti ingin memahami masyarakat Muslim secara antropologis, ia perlu memahami cara berpikir mereka yang diwarnai oleh ajaran-ajaran tersebut.
Pendekatan yang diajukan Asad berbeda dari antropologi Islam konvensional. Ia menekankan pentingnya mengkaji masyarakat Muslim dengan menghubungkan fenomena sosial mereka kepada sumber-sumber tekstual Islam. Ini membuat pendekatan Asad sangat fiqh-oriented, artinya berfokus pada hukum Islam yang termuat dalam Al-Quran dan Hadis serta bagaimana masyarakat menginterpretasikannya dalam konteks sehari-hari.
“Jadi, antropologi Islam yang diperkenalkan Talal Asad begitu fiqh-oriented dan berbasis turats. Hal ini mendorong para peneliti untuk mengkaji masyarakat muslim sebagai fenomena aktual tapi hubungkannya ide-ide mereka kepada Al Quran, Hadis, dan pendapat para Ulama,” terang Rofiq.
Kelebihan utama Talal Asad dibandingkan dengan antropolog lain, seperti Clifford Geertz, adalah kemampuannya menghubungkan Islam lokal atau partikular dengan Islam universal. Ia menjembatani studi teks-teks Islam dengan observasi lapangan, menggabungkan dunia ide dengan struktur material yang melingkupinya. Dengan demikian, ia mampu melihat transformasi atau perubahan budaya Islam dari masa lalu, kini, hingga masa depan.
Bagi para antropolog yang mengikuti jejak Asad, tantangan utama adalah bagaimana melihat ortodoksi dan heterodoksi dalam masyarakat Islam. Selalu ada kontestasi dalam upaya mencapai kesepakatan mengenai ajaran-ajaran yang dianggap benar atau ortodoks. Perbedaan pandangan ini tidak hanya terjadi pada tataran ide, tetapi juga tercermin dalam praktik sosial masyarakat yang dinamis dan terus berubah sesuai dengan tantangan zaman.
“Kelebihan Talal Asad ialah meletakkan islam lokal atau partikular dalam hubungannya dengan Islam universal. Menjembatani antara studi teks dan pendekatan observasi lapangan. Menghubungkan antara dunia ide dan struktur material yang membentuknya. Melihat transformasi atau perubahan dalam budaya Islam, karena mengkaji past, present, dan future,” ucap Rofiq.
Talal Asad membuka cakrawala baru dalam studi Islam. Pendekatannya mendorong penelitian lebih dalam terhadap masyarakat Muslim sebagai fenomena hidup yang terhubung dengan masa lalu, beradaptasi dengan masa kini, dan terbuka terhadap masa depan.