MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Riwayat dari Muqatil bin Hayyān menyampaikan kisah seorang laki-laki dari Thaif yang datang ke Madinah bersama istri, anak laki-laki, anak perempuan, dan kedua orang tuanya.
Di Madinah, laki-laki itu meninggal dunia. Ketika berita ini sampai kepada Nabi Muhammad SAW, beliau membagi harta peninggalannya kepada kedua orang tuanya dan kedua anaknya, tetapi istrinya tidak mendapatkan bagian.
Namun, Nabi memerintahkan ahli waris untuk memberikan nafkah kepada istri selama satu tahun dari harta suami yang telah meninggal. Menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Aly Aulia, inilah konteks turunnya QS. Al-Baqarah ayat 240, yang menegaskan kewajiban suami untuk berwasiat memberi nafkah kepada istrinya selama satu tahun jika ia meninggal dunia.
Dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (7/8), Aly menjelaskan bahwa ayat 240 ini menekankan pentingnya wasiat bagi suami yang mendekati ajal. Wasiat tersebut berkaitan dengan pemberian nafkah selama satu tahun serta izin tinggal di rumah bagi istri yang ditinggalkan.
Pada masa itu, kultur masyarakat menempatkan istri pada posisi yang sangat bergantung pada suami. Sehingga, ketika suami meninggal, istri yang ditinggalkan menjadi sangat rentan dan tidak mendapat apapun dari harta peninggalan suami. Harta tersebut diwarisi oleh anak, orang tua, dan saudara-saudara dari suami, sedangkan istri tidak mendapatkan apapun.
Konsep wasiat dalam ayat ini merupakan bentuk awal dari pembagian harta warisan. Wasiat adalah penyampaian kebaikan dari orang yang meninggal kepada yang ditinggalkan. Kekuatan wasiat sebelum datangnya kematian menjadi pokok utama dalam peralihan harta atau sesuatu yang berharga dari orang yang telah mati kepada pihak yang ditinggalkan. Wasiat juga menjadi sarana mempertemukan keinginan orang yang akan meninggal dengan yang ditinggalkan secara makruf.
Allah mempertegas perintah berwasiat ini, yang detil pembagiannya dijelaskan dalam ilmu al-farāidl. Istilah washiyyah digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang harus disampaikan kepada pasangan yang ditinggalkan. Kata washiyyah berasal dari kata washshā, yang artinya menyampaikan sesuatu kepada pihak lain tentang kebaikan.
Dalam bahasa Indonesia, kata ini diterjemahkan menjadi “wasiat”, yang berarti pesan. Namun, dalam Al-Quran, washiyyah memiliki makna lebih dalam dari sekadar pesan; ia adalah pemberian kebaikan dari satu pihak kepada pihak lain, seperti yang tercantum dalam QS. Al-Balad ayat 17 dan Al-‘Ashr ayat 3. Raghib al-Isfahani dalam Mu’jam Gharib al-Qur’an menyebutkan bahwa kata washiyyah bermakna menyampaikan sesuatu kepada pihak lain.
“Pemberian kepada istri yang ditinggalkan suami (janda) berupa fasilitas untuk keberlangsungan hidup sebagaimana tertuang dalam ayat 240 adalah bentuk perlindungan Allah dan Rasulullah terhadap janda. Hal ini memastikan bahwa janda tetap hidup tenang dan terpenuhi kebutuhan hidupnya, seakan-akan suaminya masih mendampingi hidupnya,” terang Aly.
Al-Baqarah ayat 240 menegaskan pentingnya perencanaan dan perhatian terhadap mereka yang ditinggalkan, menjadikan wasiat sebagai bagian penting dalam menjaga kesejahteraan keluarga yang kehilangan.