Ketika menjadi Pemateri di Seminar Muktamar ke-43 Muhammadiyah tahun 1995 di Aceh, Cendekiawan Muslim yang juga kader Muhammadiyah, Prof. Kuntowijoyo menyampaikan tantangan dakwah pada era pasca modernisme atau modernisme lanjut tidak lagi datang dari ideologi, tetapi tantangan dakwah terbesar yang dihadapi oleh umat Islam lebih konkrit lagi.
Tantangan tersebut berasal dari aktivitas manusia di bidang ekstraktif yang menyebabkan rusaknya lingkungan, selain itu juga ada masalah lain yang sangat dekat dengan manusia seperti hilangnya sumber air bersih, menipisnya ozon, polusi, wabah penyakit, termasuk limbah yang dihasilkan dari aktivitas harian manusia.
Oleh karena itu, menurutnya Surat Ali Imran ayat 110 yang dijadikan sebagai landasan teologis aktivis dakwah Persyarikatan Muhammadiyah tidak boleh dirujuk secara sepotong-sepotong, namun harus utuh – sebab tidak cukup hanya mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, tetapi juga harus sampai pada keimanan kepada Allah.
Hal ini karena dakwah di berbagai negara atau wilayah memerlukan metode yang berbeda. Di negara berkembang seperti Indonesia, semboyan “mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran” dianggap cukup. Namun, di negara maju seperti Prancis, yang lebih diperlukan adalah keimanan kepada Allah.
Ali Imran ayat 110 sebagai filosofi dakwah – bagi masyarakat industri maju, Pak Kunto menyederhanakan konsep Dakwah Berkemajuan menjadi Kebijaksanaan Kenabian. Menurutnya, pada akhir abad ke-20, masyarakat yang bergerak dari industri ke industrialisasi lanjut memerlukan kebijaksanaan yang mandiri dan merupakan sebuah sistem utuh.
Masyarakat Tanpa Agama
Mengutip Roger Garaudy (1986), fokus masyarakat agama abad ke-20 adalah sisi transendensi. Meskipun ada maraknya Islamisme atau pengarusutamaan cara beragama secara kaffah, perlu ada diversifikasi agar setiap sektor sosial mengenal jati diri mereka sendiri dalam artian praktik agama yang tidak lepas sama sekali dari konteks sosial di mana muslim itu berada.
Dalam peradaban masyarakat industri maju, orang masih menerima spiritualitas tetapi menolak agama formal. Ini adalah lanjutan dari antroposentrisme yang menggantikan teosentrisme, sehingga rasul dan Kitab Suci ditolak. Fenomena ini menjadi tantangan besar bagi dakwah.
Di peradaban ini, intelektualisme yang mencakup ilmu dan teknologi menggantikan agama sebagai petunjuk. Agama berbasis data, dan orang tidak lagi mengacu pada Kitab Suci. Meskipun demikian, tidak perlu khawatir dengan intelektualisme karena Islam menghargai akal.
Pak Kunto menganjurkan agar agama tidak menampakkan diri sebagai ideologi alternatif tetapi sebagai alternatif dari ideologi. Islam adalah ad-din dan bukan ideologi seperti sebelumnya. Selain itu, pada era modernisme lanjut demokrasi menjadi tren umum dalam masyarakat kekinian.
Kontradiksi-kontradiksi Pasca Modernisme
Guru Besar Ilmu Budaya UGM ini juga mengingatkan gerakan dakwah untuk bersiap menyambut era pasca modern atau post modern. Semboyan berkemajuan Muhammadiyah mendukung dan mempercepat datangnya era ini. Saat kemajuan diragukan, cita-cita kemajuan digantikan oleh pasca modernisme atau modernisme lanjut.
Untuk menerjemahkan konsep makro menjadi mikro tentang “amar makruf nahi mungkar tu’minu billah,” Kuntowijoyo merinci pandangan makro tersebut menjadi tujuh pandangan mikro yaitu meliputi cara beragama, filsafat, seni, ilmu, sejarah, mitos, bahasa, dan gaya hidup/fashion, serta upacara/festival.
Dalam filsafat, kontradiksi dalam pemikiran menimbulkan dinamika tetapi juga menyebabkan perpecahan. Cara mendamaikan kontradiksi ini adalah kembali kepada tradisi kenabian dan transendensi. Seni dalam dakwah tidak boleh hanya sebagai alat komunikasi, karena seni juga merupakan ekspresi, impresi, dan pemikiran.
Menurut Pak Kunto, seni sebagai dakwah adalah hikmah dan kebijaksanaan. Menjadikan seni sebagai alat akan mengurangi independensinya. Dalam ilmu, juru dakwah harus bisa membedakan antara science, wisdom (hikmah), dan truth (haq). Banyak orang bijaksana tetapi tidak semuanya benar. Banyak orang pandai tetapi jarang yang bijaksana.
Untuk mencapai kemajuan umat Islam, juru dakwah harus mengubah cara berpikir dari mitos menjadi historis. Berpikir mistis, termasuk mitos tentang keunggulan orang Islam di masa lampau, hanya akan membuat umat Islam terlelap.
Saat ini, program yang mendesak adalah menjadikan umat multilingual. Terkait fashion dan festival, Kuntowijoyo menyarankan agar Muhammadiyah tidak terlibat dalam masalah kebudayaan yang hanya permanen. Meskipun patokannya jelas, tapi Muhammadiyah bisa terjepit antara kosmopolitanisasi dan re-feodalisasi.
Kesimpulan dari narasi Kunto adalah bahwa kata Bil Hikmah perlu diartikan sebagai substansi, bukan hanya metode. Muhammadiyah perlu bekerja sama untuk menghimpun kecerdasan umat. Untuk dakwah dalam masyarakat industri lanjut, perlu memahami ciri masyarakat. Kebijaksanaan Kenabian bisa menggantikan kemajuan sebagai acuan berkebudayaan masyarakat industri lanjut, dan dakwah perlu melengkapinya dengan keimanan kepada Allah.