MUHAMMADIYAH.OR.ID, EDINBURGH — Walaupun Imam Al Ghazali telah meninggal pada tahun 1111 Masehi, namun pemikirannya dianggap masih relevan. Demikian pernyataan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Muhamad Rofiq Muzakkir dalam acara Tarjih Menjawab pada Selasa (26/3). Ia menyebut al-Ghazali sebagai salah satu tokoh penting dalam dunia Islam.
“Meskipun al-Ghazali ini begitu populer, tapi kita tidak bisa menyebut apapun tentang Imam Al-Ghazali. Inilah relevansinya supaya di kalangan kita, kesarjanaan kita, persyarikatan kita, ada percakapan-percakapan tentang tradisi intelektual di masa lalu,” ucap Rofiq.
Rofiq menyebut bahwa Al-Ghazali merupakan sosok yang memancarkan cahaya dari berbagai sudut. Dari sisi keilmuan, ia dianggap sebagai seorang polimatik ulung; dalam spiritualitas, ia menjadi teladan dalam menghadapi tantangan zaman modern; dalam isu politik, ia memberikan inspirasi dalam membimbing penguasa. Kepiawaiannya di berbagai bidang ini disempurnakan dengan pemikirannya yang integratif.
Pelajaran moral yang paling penting dari pemikiran Al Ghazali ialah memiliki pemikiran terbuka namun tetap kritis. Al Ghazali menerima bangunan pemikiran yang datang dari tradisi filsafat Yunani, namun pada saat yang sama melancarkan kritik terhadap pemikiran yang dianggap menyimpang dari akidah Islam. Teladan keilmuan ini penting untuk saat ini mengingat banyaknya aliran pemikiran yang masuk dalam benak umat Islam.
Rofiq kemudian merespon tuduhan yang mengatakan bahwa dunia Islam mundur karena mengikuti pola pikir Al Ghazali. Menurut Rofiq, anggapan ini muncul lantaran pria yang lahir di Thus, Khurasan pada tahun 1058 ini menulis kitab polemis dengan judul yang tidak tanggung-tanggung: Tahafut Al-Falasifah atau Kerancuan Para Filsuf. Rofiq menegaskan bahwa Al Ghazali sama sekali tidak anti filsafat dan sains.
“Bahkan menurut Ibnu Khaldun, Imam Al Ghazali-lah orang pertama yang membawa filsafat, dalam hal ini filsafat Ibnu Sina ke dunia Islam yang kemudian dikritik. Terkait sains, dalam otobiografinya, Al Ghazali tidak menolak ilmu fisika, kecuali beberapa hal terkait kausalitas,” terang Rofiq.
Salah satu kritik yang disampaikan Al Ghazali terhadap para filsuf ialah tentang kepastian hukum kausalitas. Bagi para filosof seperti Ibnu Sina dan Alfarabi, setiap akibat adalah hasil langsung dari sebab efisiennya. Artinya, di mana ada sebab, secara bersamaan di situ ada akibat. Al-Ghazali menolak adanya kepastian sebab dan akibat, karena akan menihilkan peran Tuhan di dalamnya. Al Ghazali ingin memastikan adanya peran Tuhan dalam proses kausalitas. Hubungan sebab akibat tetap ada, tetapi berpijak pada kehendak Tuhan.
Terkait dengan sosial dan politik, Rofiq mengatakan bahwa Al Ghazali dapat menjadi teladan. Pada awalnya, Al Ghazali berada di dalam lingkaran kekuasaan. Namun setelah mendapatkan krisis spiritual, ia akhirnya mengembara. Sepulang dari pengembaraannya, Al Ghazali menjaga jarak dari istana, bahkan terkadang melancarkan kritik terhadap penguasa.
Dengan mengenang warisan intelektual dan spiritual Al-Ghazali, umat Islam diingatkan akan pentingnya menjaga keseimbangan antara keilmuan, spiritualitas, dan kritik terhadap kekuasaan dalam membangun masyarakat yang adil dan beradab. Sebagai umat Islam, kita dihadapkan pada tugas untuk terus memperkaya pemikiran dan mengembangkan tradisi intelektual yang menginspirasi, sebagaimana yang dicontohkan oleh Imam Al-Ghazali.