Secara bahasa, “ghaib” merujuk pada sesuatu yang tidak dapat terlihat, tersembunyi, atau tidak nyata. Dalam konteks ibadah, istilah “salat ghaib” merujuk pada salat yang dilakukan kepada jenazah di suatu tempat atau daerah yang tidak ada di hadapan secara langsung orang yang melakukan salat jenazah.
Beberapa dalil yang menunjukkan kehujahan hadis tentang salat ghaib antara lain:
عَنْ جَابِرٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى أَصْحَمَةَ النَّجَاشِىِّ فَكَبَّرَ أَرْبَعًا [رواه البخارى]
Dari Jabir r.a. (diriwayatkan) bahwa Nabi saw telah mensalatkan Ashamah an-Najasyi, lalu ia (Nabi) takbir empat kali [HR. al-Bukhari].
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِىَّ فِى الْيَوْمِ الَّذِى مَاتَ فِيهِ، خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى، فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا [رواه البخارى].
Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan), bahwa Nabi saw telah memberitahukan kematian Najasyi pada hari kematiannya, beliau (Nabi) keluar (bersama sahabat) ke tempat salat, lalu beliau atur shaf mereka dan bertakbir empat kali [HR. al-Bukhari].
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عَنْهَا فَقَالُوا مَاتَ. قَالَ أَفَلاَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِى. قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ فَقَالَ دُلُّونِى عَلَى قَبْرِهِ فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا [رواه مسلم].
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan), sesungguhnya seorang perempuan hitam atau seorang muda yang biasa menyapu masjid tidak kelihatan kepada Rasulullah saw, lalu beliau bertanya tentangnya. Para sahabat menjawab, “Ia sudah meninggal.” Lalu beliau bertanya, “Mengapa kamu tidak memberitahu kepadaku?” Ia berkata, “Seolah mereka menganggap remeh persoalan ini.” Lalu beliau bersabda, “Tunjukkan kepadaku di mana kuburnya.” Lalu mereka menunjukkannya kemudian beliau salat atasnya [HR. Muslim].
Dalam hadis lain terdapat riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi saw pernah salat jenazah kepada salah satu ahli kubur yang terlewati dalam perjalanan.
عَنِ ابْنِ نُمَيْرٍ قَالَ انْتَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى قَبْرٍ رَطْبٍ فَصَلَّى عَلَيْهِ وَصَفُّوا خَلْفَهُ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا [رواه مسلم].
Dari Ibnu Numair (diriwayatkan) berkata, Rasulullah saw pernah pergi ke satu kuburan yang baru, lalu ia salat atasnya dan mereka (sahabat) bershaf di belakangnya dan ia bertakbir empat kali [HR. Muslim].
Dari hadis-hadis tersebut, dapat disimpulkan bahwa Nabi saw melaksanakan salat jenazah secara ghaib tanpa syarat khusus. Salat ini dapat dilakukan ketika mendapat kabar seseorang meninggal, baik jasadnya diketahui maupun tidak, serta di tempat salat atau di kubur. Contohnya, salat untuk raja Najasyi dilakukan di tempat salat, sedangkan salat untuk perempuan penjaga masjid dilakukan di kubur.
Kebolehan melaksanakan salat jenazah secara ghaib menegaskan fleksibilitas dalam menjalankan ibadah. Hal ini juga menunjukkan bahwa salat ghaib dapat diwujudkan tanpa harus bergantung pada kehadiran jenazah secara fisik. Dengan pemahaman ini, umat Islam dapat menjalankan ibadah salat jenazah dengan lebih mudah dan fleksibel, memperkuat nilai-nilai keagamaan yang tercermin dalam ajaran Al Quran dan Hadis.
Referensi:
Rubrik Tanya Jawab Agama, Majalah Suara Muhammadiyah, Edisi 11 Tahun 2019.