MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Berdasarkan telaah terhadap dokumen resmi Muhammadiyah, tidak terdapat putusan Majelis Tarjih yang secara eksplisit menyatakan bahwa Muhammadiyah menolak penggunaan hadis ahad dalam urusan akidah.
Pernyataan di atas ini disampaikan Wakil Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah Cecep Taufiqurrahman dalam acara Seminar Ketarjihan pada Ahad (11/2) di Aula Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan yang diselenggarakan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DI Yogyakarta.
Dalam buku berjudul “Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi” yang ditulis oleh Ketua Majelis Tarjih periode 1985-1990, Asjmuni Abdurrahman, terdapat pernyataan yang memerinci pandangan terkait hadis Ahad. Beliau menyebutkan bahwa “dalam masalah Aqidah (tawhid), hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir”. Pernyataan ini mengklasifikasikan bahwa dalam bidang akidah, hanya dalil-dalil mutawatir yang dipandang sah.
Pernyataan tersebut menunjukkan kecenderungan untuk tidak mengandalkan hadis Ahad dalam konteks akidah. Namun, Cecep mengatakan bahwa pernyataan di atas lebih bersifat pandangan pribadi Asjmuni Abdurrahman dan belum menjadi putusan resmi di Majelis Tarjih dan Tajdid. Mengenai klaim bahwa dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) dan Putusan Hukum Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah hanya berdasarkan hadis Mutawatir, diperlukan klarifikasi untuk memahami metode dan sumber hukum yang digunakan oleh Muhammadiyah.
Menurut Cecep, penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa tidak terdapat penegasan resmi dari Majelis Tarjih yang menyatakan bahwa hanya hadis Mutawatir yang digunakan dalam putusan hukum. Faktanya, Himpunan Putusan Tarjih dan Putusan Hukum Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mencakup penggunaan hadis ahad (baik sahih maupun hasan) sebagai dalil dalam putusan-putusan mereka.
Bukti konkret dapat ditemukan dalam Himpunan Putusan Tarjih, khususnya dalam Kitab Iman. Dalam kitab tersebut, terdapat hadis-hadis Ahad yang digunakan sebagai argumentasi dalam putusan hukum, sementara tidak ada satupun hadis yang mencapai derajat Mutawatir. Bahkan, beberapa fatwa dalam Tanya Jawab Agama yang dikodifikasi dalam buku tersebut juga banyak mengandalkan hadis Ahad.
Tidak adanya pembatasan eksklusif terhadap hadis Mutawatir dalam putusan-pustusan Muhammadiyah menggambarkan bahwa Persyarikatan mengakui beragam derajat hadis sebagai sumber hukum. Meskipun dalam pandangan pribadi Asjmuni Abdurrahman disebutkan bahwa dalam masalah akidah hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir, namun pandangan ini belum mencerminkan posisi resmi Muhammadiyah.
Kesimpulannya, Muhammadiyah tidak secara eksklusif menggunakan hadis Mutawatir dalam putusan-pustusan mereka. Penggunaan hadis Ahad, baik dalam Himpunan Putusan Tarjih maupun dalam fatwa-fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid, menunjukkan pendekatan yang lebih inklusif terhadap sumber-sumber hukum Islam. Sebagai organisasi yang mengakui keragaman interpretasi, Muhammadiyah tetap memberikan perhatian pada berbagai derajat hadis dan sumber-sumber hukum yang relevan.