MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Sejak era 1980-an, seiring dengan gelombang modernisasi pada masa Orde Baru, muncul kebutuhan dan semangat pencaharian menuju spiritualitas dalam kalangan menengah ke atas. Fenomena ini, sebagaimana disampaikan oleh Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Sopa, mencerminkan pergeseran nilai dan kebutuhan akan dimensi rohaniah dalam kehidupan sehari-hari.
Djarnawi Hadikusomo, seperti terungkap dalam Suara Muhammadiyah No. 5 Maret 1980, mengungkapkan keprihatinannya terhadap persoalan spiritualitas di tubuh Muhammadiyah. Ia menyoroti penipisan jiwa keagamaan, hilangnya kesadaran spiritual, dan godaan mudah terhadap dunia materi. Pada tahun 1995, Haedar Nashir, kutip Sopa, juga menyoroti masalah ini dalam konteks “Muhammadiyah dan Rekonstruksi Spiritualitas Islam dalam Kehidupan Modern,” dengan mencatat minat tumbuh terhadap tasawwuf di kalangan urban dan kaum terpelajar.
“Persoalannya, warga Muhammadiyah sangat menghindari mistisisme yang mengandung keyakinan-keyakinan yang dipandang asing dari Islam, seperti wahdatul wujud,” terang Sopa dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (11/01).
Sejak tahun 1980-an hingga 1990-an, diskusi mengenai tajdid dan autokritik terhadap kondisi persyarikatan, menurut Sopa terus mengemuka. Perkembangan pemikiran keagamaan yang datang dari luar negeri maupun revitalisasi pemikiran di dalam negeri menarik minat warga Muhammadiyah. Kondisi ini membuat warga Muhammadiyah kadang merasa menemukan oase keagamaannya di sana. Karenanya pemenuhan spiritual yang berasal dari tasawwuf dianggap penting dalam menghadapi tantangan modernitas.
Pada tahun 2000, Musyawarah Nasional Tarjih ke-25 di Jakarta akhirnya menghasilkan penyempurnaan rumusan berijtihad di Muhammadiyah dengan menggunakan pendekatan “bayani, burhani, dan irfani,” yang menjadi pilar Manhaj Muhammadiyah.
Pendekatan bayani mengacu pada respons terhadap permasalahan dengan berlandaskan nash-nash syariah, sementara pendekatan burhani melibatkan ilmu pengetahuan umum untuk menanggapi beragam persoalan. Pendekatan irfani menekankan peningkatan kepekaan nurani dan intuisi batin melalui pembersihan jiwa.
Mengutip pandangan Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sopa menegaskan pentingnya warga Muhammadiyah memegang teguh ketiga pendekatan tersebut sebagai Manhaj Muhammadiyah. Kesatuan tiga pendekatan tersebut, yakni bayani, burhani, dan irfani, menjadi ciri khas Muhammadiyah dalam menjawab tantangan dan kebutuhan spiritualitas di era modern ini.