MUHAMMADIYAH.OR.ID, PONTIANAK – Menghadapi situasi Pemilu 2024, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah lebih cenderung melonggarkan para anggota pimpinan di lingkup persyarikatan yang menjadi calon maupun tim sukses.
Demikian disampaikan oleh Ketua PP Muhammadiyah, Agung Danarto saat menyampaikan amanah di Pembukaan Pra Tanwir I Nasyiatul Aisyiyah (NA) di Kota Pontianak, Kalimantan Barat pada Kamis (11/1).
Pelonggaran tersebut, imbuh Agung, menyesuaikan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 616/KEP/I.0/B/2023 tentang Ketentuan Pencalonan Anggota DPR RI/DPRD dan DPD dari Lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah.
“Kalau zaman dulu, begitu nyalon langsung diberhentikan dari jabatannya. Terpilih atau tidak terpilih, jadi atau tidak jadi itu semuanya diberhentikan, termasuk pimpinan amal usaha, termasuk dosen, karyawan, guru dan lain sebagainya,” katanya.
Namun pada periode ini tidak sampai diberhentikan, sebab jika merujuk pada Surat Keputusan di atas hanya dinonaktifkan sampai Pemilu selesai. Kalau terpilih maka non aktifnya lanjut, karena harus konsentrasi di tempat yang baru.
“Kalau tidak terpilih boleh kembali ke persyarikatan, ke amal usaha. Pokoknya kembali, masalah jabatannya sama atau tidak tergantung kebutuhannya,” imbuh Agung.
Ketua PP bidang Organisasi, Ideologi, Kaderisasi, dan Pembinaan AMM ini mencontohkan, jika ada seorang kepala sekolah Muhammadiyah menjadi caleg, dia otomatis harus non aktif. Akan tetapi jika tidak terpilih dan ingin kembali ke AUM, dia tidak menjadi kepala sekolah lagi, melainkan menyesuaikan kebutuhan sekolah.
Termasuk dalam penggunaan simbol atau lambang organisasi, tidak boleh dijadikan alat kampanye. Baik kampanye Pilpres, Pilkada dan lain sebagainya. Termasuk pimpinan di lingkungan persyarikatan yang menjadi Timses harus non aktif, sampai Pemilu usai.
“Muhammadiyah itu strateginya, khittahnya memang jalur kemasyarakatan, bukan jalur politik,” katanya.
Akan tetapi bagi kader yang ingin berkarir di jalur politik dipersilahkan, bahkan dari Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani, serta organisasi otonom diminta oleh Agung untuk menyiapkan kader dan jalur politiknya.
Muhammadiyah memandang, perjuangan umat dapat dilakukan melalui dua jalur yaitu jalur kemasyarakatan dan politik. Agung menegaskan, Muhammadiyah tidak pernah memandang jalur politik kotor dan haram untuk dimasuki.
Sebaliknya, Muhammadiyah memandang jalur politik sebagai jalan perjuangan yang bisa jadi tidak salah menantangnya dari jalur kemasyarakatan. Oleh karena itu, dia berharap perlu untuk berbagi kader di dua jalur tersebut.
Dipilihnya jalur kemasyarakatan oleh Muhammadiyah juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah. Saat ini Muhammadiyah ingin menempuh jalur perjuangan yang relatif soft dan stabil, melalui jalur kemasyarakatan dengan mendirikan AUM dan lainnya.
“Tetapi dua komponen ini – jalur politik dan kemasyarakatan harus bersinergi, tidak boleh saling menegasikan. Karena politik butuh kita, dan kita juga butuh politik. Sehingga diaspora perlu dipersiapkan sebaik-baiknya,” harap Agung.