MUHAMMADIYAH.OR.ID, SURAKARTA – Wakil Ketua Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kusen membacakan puisi dalam pembukaan Konferensi Mufasir Muhammadiyah di Gedung Edutorium KH. Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Jumat (10/11).
Pembacaan puisi itu dia maksudkan sebagai pesan bahwa seorang mufasir Muhammadiyah tidak cukup mengandalkan aspek bayani saja, tetapi harus dalam tiga pendekatan integratif Tarjih yakni bayani (dalil), burhani (iptek), dan irfani (hikmah).
Dengan demikian, dia berharap orang Muhammadiyah memiliki ciri kelengkapan ilmu yang mendalam. Sehingga mufasir Muhammadiyah selain mengerti tafsir juga mengerti seni. Demikian pula sebaliknya, para seniman juga harus mengetaui tafsir.
“Sehingga hadirnya saya di tengah-tengah peserta konferensi ini sebagai simbol pesan, karena sejatinya seni dan tafsir atau seni dan agama itu adalah satu kesatuan yang utuh. Dakwah melalui seni. Sudah menjadi tugas saya untuk memahamkan dan mencontohkan bahwa seni itu keren, karena itu layak untuk dipanggungkan dan untuk disimak,” jelasnya.
Kusen yang akrab dipanggil sebagai Kiai Cepu ini juga menjelaskan bahwa seni dapat digunakan sebagai media efektif untuk melakukan dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
“Sehingga melalui seni, seperti puisi, teater dan bentuk lainnya adalah respon untuk memberikan pesan kepada masyarakat. Selain itu, seni juga saya manfaatkan untuk merespon atau melawan kezaliman dan ketidakadilan yang terjadi,” imbuhnya.
Pada kesempatan tersebut, Kusen membacakan puisi karyanya tahun 2005 tentang protes sosial sekaligus refleksi 100 tahun kemerdekaan yang penuh ironi karena harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik, kasus narkoba semakin banyak, dan masih banyak masyarakat yang belum sejahtera.
“Tujuan dari kemerdekaan adalah kesejahteraan. Namun sudah sejak 100 tahun yang lalu Indonesia merdeka, tetapi rakyatnya belum sejahtera. Maka saya menolak kemerdekaan, karena bagi mereka yang penting adalah perut. Itu adalah satir,” paparnya. (afn)