MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANDUNG—Sejak tahun 1972 dengan diterbitkannya Deklarasi Stockholm, Majelis Umum PBB menetapkan 5 juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Menurut Ketua Divisi Lingkungan Hidup Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) Pimpinan Pusat ’Aisyiyah Hening Purwati Parlan, peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan yang sehat serta ajakan untuk melestarikan bumi.
“Peringatan ini diharapkan bisa menggugah kepedulian manusia dan masyarakat untuk merawat lingkungan hidup yang cenderung semakin rusak,” ucap Hening dalam Gerakan Subuh Mengaji yang diselenggarakan ‘Aisyiyah Jawa Barat pada Senin (05/06).
Menurut Hening, Deklarasi Stockholm tahun 1972 menandai dialog pertama negara industri dan negara berkembang yang membahas pertumbuhan ekonomi, pengendalian pencemaran, dan kelangsungan hidup manusia di seluruh dunia. Indonesia termasuk negara yang memiliki kepedulian dengan kelestarian lingkungan hidup dengan diterbitkannya Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2023 mengambil tema “Beat Plastic Pollution”. Menurut Hening, tema ini menjadi pengingat bahwa tindakan masyarakat terhadap polusi plastik adalah hal yang penting agar para pihak baik pemerintah, kelompok bisnis, komunitas dan individu mengurangi pemakaian plastik serta mencegah terjadinya polusi plastik.
Celakanya ialah setiap orang menghasilkan sampah tapi tidak semua orang mau membuang sampah pada tempatnya. Alhasil, Indonesia menjadi salah satu produser sampah plastik terbanyak di dunia. Berdasarkan data Jambeck (2015), Indonesia berada di peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut yang mencapai sebesar 187,2 juta ton setelah Cina yang mencapai 262,9 juta ton.
Dalam upaya mengurangi produksi sampah, Hening mengajak agar masyarakat meningkatkan pengetahuan literasi ekologi. Menurutnya, krisis ekologi terjadi berasal dari banyak faktor mulai politik, hukum, sosial, pendidikan, budaya, dan lain-lain. Krisis ekologi adalah buah dari hilangnya penghayatan manusia religius manusia terhadap alam. Kitab Suci Al Quran, misalnya, menyebutkan bahwa seluruh entitas di alam ini bertasbih memuji Allah Swt.
“Pada titik ini, alam dilihat oleh Kitab Suci sebagai entitas sakral. Namun, penghayatan ini telah diganti oleh pandangan antroposentris, yang menyatakan bahwa alam hanyalah komoditas ekonomi yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia,” ucap Hening.