MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Adalah tidak diragukan bahwa Islam mengajarkan agar keutuhan rumah tangga dijaga dipertahankan. Namun demikian, Islam juga melihat kemungkinan terjadi ketidakserasian suami-istri dalam berumahtangga. Untuk mengatasi ini perceraian diizinkan sebagai pintu darurat. Sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak.
Menurut Nur Kholis, apabila talak tiga dijatuhkan, rumah tangga mereka tidak boleh diulangi lagi untuk ketiga kalinya melalui rujuk. Perempuan yang menjalani talak tiga yang kemudian masih ingin membina rumah tangga, maka ia harus menikah dengan pria lain, tidak boleh dengan pria yang mentalaknya tiga kali itu, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Baqarah ayat 230.
Bila rumah tangga dengan pria yang kedua ini juga berjalan tidak mulus sehingga harus berakhir dengan perceraian, maka perempuan tersebut boleh menikah lagi dengan pria pertama, dengan catatan, bila idahnya sudah habis juga dari perceraiannya dengan suami yang terakhir. Diharapkan, berdasarkan pengalaman yang telah dilalui mereka akan dapat membina rumah tangga dengan benar.
Para ulama fikih membicarakan kasus talak tiga secara panjang lebar. Pasangan suami istri yang sudah menjalani talak tiga (talak bain kubra) seperti kasus dalam kelompok ayat ini, kemudian mantan istri sempat menikah dengan pria lain, kemudian cerai dan akhirnya kembali menikah dengan pasangan pertamanya, maka pria yang menikahi istri yang telah ditalak tiga kali tersebut disebut muhallil.
“Singkatnya, bila proses terjadinya muhallil itu alami, maka pernikahan dengan muhallil dibenarkan. Dalam perkawinan dengan muhallil ini harus terjadi hubungan suami istri,” ucap divisi tafsir AlQuran Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini dalam kajian yang diselenggarakan Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan pada Kamis (05/01).
Nur Kholis kemudian mengutip sebuah hadis: “Aisyah ra. bercerita kepada seorang (periwayat hadis) bahwa istri Rifaah al-Qaradzi datang kepada Rasulullah, berkata “Wahai Rasul, sesungguhnya Rifaah telah menceraikanku dan telah habis masa idah, lalu aku menikah dengan Abdur Rahman bin Zubair al-Qaradzi. Hanya, bersama dia rasanya hambar (belum dukhul?).” Rasulullah berkomentar, “Agaknya kamu ingin kembali menikah dengan Rifaah. Tidak…, sebelum ia (suami kedua yang bernama Abdur Rahman bin Zubair) merasakan manisnya madu denganmu dan kamu merasakan manisnya madu dengannya.” (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Turmudzi, Ibn Majah, Ahmad).
Sebaliknya, bila pernikahan dengan muhallil itu terjadi karena rekayasa, maka semua pihak yang terlibat mendapatkan laknat. Untuk mengatasi kasus seperti ini, diperlukan aturan yang jelas dan tegas, agar sistem peradilan di Indonesia dapat menyelesaikannya secara baik.