MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Perumusan setiap produk ketarjihan tidak terlepas dari kejian usul fikih dan maqashid Syariah. Karenanya, menurut Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhammad Khaeruddin Hamsin, untuk mengetahui produk tersebut perlu memahami metodologi istinbat dan ijtihad yang telah ditetapkan dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah.
Fungsi ijtihad ialah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam Al Quran dan Al Sunnah. Hal ini tergambar jelas dari dialog Nabi Saw dengan Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman. Dengan demikian, kata Khaeruddin, posisi ijtihad di dalam Islam bukan sebagai sumber hukum melainkan sebagai metode penetapan hukum.
“Di awal perumusan usul fikih, bahasan maqashid Syariah tidak terlalu dalam dibicarakan. Tapi sekarang, sentral utama wacana usul fikih justru pada maqashid Syariah. Tidak hanya dikaji kalangan muslim, tapi juga non-muslim,” ucap Khaeruddin dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (21/12).
Menurut Khaeruddin, maqashid Syariah merupakan tujuan hukum Islam dalam rangka memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadah, di antaranya memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tujuan tersebut dicapai melalui penetapan hukum yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yaitu Al Quran dan Al Sunah.
Mengutip Ibn Taimiyah, Khaeruddin mengatakan bahwa agama diturunkan untuk memperoleh kemaslahatan sesempurna mungkin, dan untuk menghindari kerusakan seminimal mungkin. Sejalan dengan itu, kata Khaeruddin, Al Qarafi mengatakan bahwa semua yang diperintahkan agama pasti terkandung di dalamnya kemaslahatan, dan semua larangannya pasti mengandung kerusakan.
“Jika perintah dalam Al Quran tidak bisa kita rasionalisasikan, maka cukup diamalkan saja. Misalnya ibadah. Sekarang banyak riset yang menunjukkan bahwa pelaksanaan ibadah ternyata mengandung kemanfaatan bagi kita,” ucap Khaeruddin.
Instrumen-instrumen yang dapat mengantarkan pada maqashid Syariah di antaranya: mashlaha al mursala, istihsan, saddu al-dzariah, istishab, dan urf. Menurut Khaeruddin, semua produk fatwa dan putusan yang dihasilkan Majelis Tarjih dan Tajdid seperti Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah, Fikih Perlindungan Anak, dan lain-lain selalu menggunakan mekanisme ini dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan mengurasi risiko kemafsadatan.
“Banyak produk Muhammadiyah menggunakan metode ini seperti dalam Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah. Misalnya tentang keberatan praktik poligami. Setelah ditimbang dengan metode-metode usul fikih dan kajian maqashid, poligami menjadi sesuatu yang tidak bisa diharamkan namun didorong untuk diminimalkan,” ucap Khaeruddin.