MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Dua ayat terakhir Surat Al Insyirah menjadi landasan teologis Muhammadiyah dalam gerakan. Sehingga rampung gelaran Muktamar 48, bukan berarti berhenti melainkan menjadi sebuah awal untuk bekerja lebih baik lagi.
Sebagai gerakan Islam yang Berkemajuan, dan sesuai dengan teologi Al Insyirah, menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, maka pimpinan termasuk warga Persyarikatan Muhammadiyah setelah muktamar tidak boleh berpangku tangan.
Dalam Pengajian Umum PP Muhammadiyah, Jumat (10/12) yang disiarkan live media sosial, terkait dua ayat tersebut Abdul Mu’ti mengutip Tafsir Al Maraghi. Dua ayat terakhir Al Insyirah dalam tafsir Al Maraghi mengandung dua pengertian penting.
“Yang pertama Al Maraghi menjelaskan bahwa, kita hendaknya senantiasa bersabar dalam melaksanakan sesuatu, karena di balik kesabaran itu akan ada kesenangan dan kebahagiaan.” Ungkapnya.
Kandungan kedua adalah terkait dengan konsistensi dan berkesinambungan dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan dan yang menjadi tugas atau kewajiban manusia. Konsisten dan berkesinambungan ini menjadi kunci pimpinan dan warga persyarikatan yang maju.
“Kita bekerja bukan untuk mendapatkan pujian, bukan untuk mendapatkan kedudukan, bukan untuk mencari jabatan. Tetapi untuk mencari keridhaan Allah,” ungkap Abdul Mu’ti menjelaskan ayat delapan Surat Al Insyirah.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa Teologi Al Insyirah ini menjadi energi yang diserap oleh warga persyarikatan untuk konsisten dalam bergerak. Selain energi tersebut, Mu’ti menambahkan bahwa energi yang ada itu juga dibarengi dengan energi kebaruan.
Berkaca pada kesuksesan Muktamar 48, imbuh Mu’ti, bisa menjadi energi potensial bagi gerakan persyarikatan untuk bisa melejit lagi. Di sisi lain, keberhasilan tersebut jika tidak dibarengi dengan kerja lebih keras lagi dikhawatirkan akan menyebabkan disrupsi.
“Salah satu jebakan dari kesuksesan itu adalah kita ini berada pada zona nyaman, be enjoy comfort zone. Kita menikmati zona nyaman yang jika kita terlalu asik di zona nyaman itu kita menjadi seorang yang romantis,” tutur Mu’ti.
Diksi romantis di sini adalah seseorang yang mengenang sesuatu yang indah dan terlena, bahwa ada tantangan yang sangat berat di masa depan. Oleh karena itu, Mu’ti mengajak kepada seluruh warga persyarikatan untuk menjadi futuristis atau berorientasi masa depan.
“Saya sering menyebut orientasi futuristis itu orientasi akhirat. Yang orientasi akhirat itu orientasi di mana masa depan itu harus lebih baik dari pada masa lalu dan masa kini,” paparnya.