MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir hadir dalam Pengajian Ramadan 1443 H Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah (Jateng). Pengajian tersebut mengambil tema beragama yang memajukan dan mencerahkan.
Pada keynote speechnya, Haedar mengatakan bahwa merawat nilai utama gerakan Muhammadiyah yakni memajukan dan mencerahkan, sejak awal memang menjadi icon atau diksi dari pergerakan Muhammadiyah.
“Maka ketika kita ingin membahas kembali tentang bagaimana beragama yang memajukan dan mencerahkan sesungguhnya itu merupakan ikhtiar kita untuk penguatan dan peneguhan sekaligus juga pengayaan dan pengembangan nilai-nilai agama yang membawa pada kemajuan dan menggembirakan kehidupan yang berbasis pada nilai-nilai utama di mana Islam mengajarkan,” tutur Haedar, Sabtu (16/4).
Lebih lanjut, Haedar menyebut bahwa sesungguhnya Muhammadiyah bukan hanya bicara secara teoritik tentang beragama yang memajukan dan menggembirakan bahkan Muhammadiyah sudah mempraktekkannya sejak gerakan Islam ini lahir, tumbuh, dan berkembang sampai sekarang.
Dalam konteks teologis, kata Haedar, Muhammadiyah sejak zaman Kiai Dahlan sampai saat ini telah mempelopori, merintis, mengembangkan, dan mengimplementasikan Islam sebagai agama yang membawa kemajuan. Bahkan telah menjadi rumusan resmi sebagai Islam berkemajuan.
Pemikiran-pemikiran Islam berkemajuan itu, menurutnya, punya dasar teologis yang kuat. Antara lain wahyu pertama itu Iqra (bacalah). Iqra disitu, kata Haedar, bukan sekedar Iqra tetapi punya dimensi yang membawa pemahaman baru tentang ketuhanan.
Haedar menyampaikan jika ayat yang menyebutkan Iqra dikaji maka luar biasa. Perintah Iqra disini dalam arti multidimensi baik dalam arti membaca maupun juga ta nadhor (kesadaran tentang masa depan) atau juga tafakur juga tadabur dan seterusnya yang ini merupakan dimensi yang sangat jelas. Juga Iqra dalam makna mengaitkan dimensi manusia dengan akal manusia dengan pikirannya dan penciptaannya dalam metafisika kehidupan.
“Di mana Allah sebagai Maha Pencipta yang menciptakan manusia dan alam semesta sehingga iqra disitu dengan bantuan teknologi dan sains punya dimensi lintas pemahaman kehidupan dengan bayani, burhani dan irfani,” terangnya.
Haedar menuturkan tidak ada agama yang begitu konsen dalam kitab sucinya yang menyuruh umatnya untuk mengubah nasibnya. Dan tidak hanya sekedar mengubah nasib, mengubah nasib juga punya konteks yang luar biasa. Lalu tentang ta nadhor itu dikaitkan bukan hanya wilayah ranah duniawi tapi juga ukhrowi. Maka Islam juga mengenai pandangan dunia itu meletakkan dunia tidak terpisah dari akhirat. Maka kita sering menyebut dunia sebagai mazroatul akhiroh.
“Di beberapa ayat memang menyebutkan dunia sebagai mata’ul ghurur ini sebagai sebuah peringatan tentang kehati-hatian keseksamaan dalam hidup, agar kita jangan sampai dimakan dunia. Tetapi ini tidak berarti menjadi ajaran tentang anti dunia. Sebab kalau anti dunia kita tidak akan menjadi Khalifatullah Fil Ardh,” kata dia.
Kesimpulannya, lanjut Haedar kita bisa menggali banyak bagaimana iman bisa dikaitkan dengan ilmu. Dan manusia muslim itu juga harus memiliki ilmu wal hikmah lalu mereka yang beriman berilmu naik derajatnya.
Tetapi, hal itu tidak mungkin jika orang Islam tidak memiliki pondasi kemajuan untuk memahami Islam, al Qur’an, hadis dan alam semesta sunnatullah. “Jika juga manusia tidak punya modal utama (akal pikiran) dan pengembangan,” kata Haedar.