MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA—Ciri negara hukum ialah segala kebijakan harus memiliki landasan hukumnya. Dalam usulan penundaan pemilu 2024 mendatang, misalnya, Refly Harun ahli tata negara menilai bahwa hal tersebut tidak memiliki dasar hukum. Akan tetapi, penundaan pemilu mungkin saja terjadi bila dalam situasi dan kondisi yang sifatnya force majeure, seperti gangguan keamanan atau terjadi bencana alam.
“Membicarakan negara hukum berarti apa-apa itu diatur atau ada landasan hukumnya. Contohnya masa jabatan dan bagaimana pemilu dilakukan. Dalam sebuah negara hukum itu sudah ditentukan terlebih dahulu,” ujar Refly pada Rabu (16/03).
Refly mengatakan penundaan Pemilu itu tidak bisa didesain melalui pernyataan-pernyataan ketua umum partai politik atau misalnya atas perintah seseorang lalu diupayakan ada perubahan konstitusi dengan berbagai alasan yang cenderung dipaksakan. Hal ini, katanya, bukan prinsip negara hukum, melainkan negara kekuasaan. Dalam negara kekuasaan, landasan hukum tidak terlalu diperhatikan.
Usulan penundaan Pemilu berkaitan langsung dengan norma konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 45. Menurut Refly, dua hal yang harus diperhatikan dalam mengubah konstitusi: pertama, perubahan konstitusi itu tidak boleh melanggar prinsip-prinsip konstitusionalisme. Isi dari prinsip konstitusionalisme ialah membatasi dan membagi kekuasaan, menjamin hak asasi manusia, dan mengatur struktur fundamental ketatanegaraan.
“Kalau negara hukum tanpa konstitusionalisme dalam artian tidak ada batasan kekuasaan, tidak menjamin hak asasi manusia, maka tetap disebut negara hukum namun aturannya dibuat otoriter, contohnya Jerman era Hitler,” tutur Refly.
Kedua, jika ingin mengubah konstitusi terutama soal masa jabatan maka harus diperuntukkan bagi pejabat yang akan datang bukan bagi dirinya sendiri yang sedang menjabat. Hal ini akan lebih objektif dalam merumuskan kebijakan. Kalau berlaku untuk mereka yang saat ini menjabat, maka keadaan buruk mungkin akan terjadi.
“Kalau ingin mengubah konstitusi yang berkaitan dengan masa jabatan harus diperuntukkan untuk pejabat yang akan datang, bukan yang saat ini,” ujar Refly.