MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Hanung Bramantyo, Sutradara multitalenta asal Indonesia paparkan peluang kepada Muhammadiyah untuk berdakwah, dan jika memungkinkan berbisnis melalui film.
Dalam paparannya, Hanung menyebut bahwa dengan besar dan luasnya jaringan yang dimiliki oleh Muhammadiyah sangat memungkinkan untuk menjadikan film sebagai jalur dakwah modern. Menurutnya ini adalah saat yang tepat bagi Muhammadiyah untuk mengambil peluang dakwah sekaligus berbisnis melalui film.
Demikian disampaikannya pada (8/2) di acara Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) Morning Talk #1 yang diadakan JSM Jogja Istimewa. Hanung menyebut, film sebagai sarana informasi dan hiburan memiliki daya magis yang kuat. Bahkan dengan kekuatan magis tersebut, film mampu membius manusia.
Hanung menjelaskan, pada sisi dakwah film adalah sarana bagus untuk menjelaskan banyak hal tentang Agama Islam. Ia membandingkan, saat ini di Barat banyak sekali film yang menjelaskan tentang nabi-nabi, misalnya Nabi Isa dan Nabi Nuh. Akan tetapi sumber atau perspektif yang mereka gunakan bukan bersumber dari Al Qur’an.
Berkaca dari itu, kata Hanung, Islam atau Muhammadiyah harus melakukan suatu untuk mengcounter narasi cerita nabi-nabi yang diproduksi oleh mereka. Artinya umat Islam harus memproduksi film tentang nabi-nabi yang sesuai dengan sumber Al Qur’an dengan tampilan yang lebih baik.
“Dakwah sekarang itu menurut saya tidak melulu disajikan dalam satu jenis. Tetapi dakwah sekarang itu sifatnya equal, jadi umatnya tidak pasif, tapi umatnya itu mencari dan mempelajari,” ungkapnya.
Selain itu menurutnya, umat Islam tidak boleh alergi dengan budaya film sebab jika dirunut ke belakang penemu optik sebagai dasar photography adalah seorang ilmuwan muslim yaitu Ibnu Al Haytham yang berasal dari Basrah, Irak.
“Ibnu Al Haytham disebut bapaknya optik, bapaknya kamera, bapaknya lensa itu orang Islam,” ungkap Hanung.
Kemudian dari temuan dasar tersebut dikembangkan oleh ilmuwan selanjutnya dan menjadi kamera yang ada saat ini. Film atau audio visual menjadi sarana efektif dalam menyampaikan maksud atau pesan dari pembuatnya. Dari perkembangan tersebut, filem diproduksi dengan maksud dan tujuan tertentu.
“Kita juga mengenal Ayat-Ayat Cinta, Sang Pencerah ini adalah perpaduan antara film dakwah dan juga film komersil,” tutur Hanung.
Pada sisi komersial atau bisnis, Hanung menjelaskan bahwa mulai dari tahun 2000-an sampai sebelum pandemi covid-19 cenderung mengalami peningkatan. Artinya jumlah penonton akan berpengaruh pada pendapatan atas film yang diproduksi. Semakin banyak penonton, maka semakin banyak keuntungan yang didapat.
Hanung mensimulasikan, bahwa Film Sang Pencerah yang rilis tahun 2010 berhasil menarik penonton sebanyak 1,1 juta. Dari jumlah tersebut kemudian dikalikan dengan jumlah tiket seharga Rp. 50.000 yang berarti total omset Rp. 55 miliar, sementara biaya produksi hanya Rp. 10 miliar.
“Jadi keuntungannya itu Rp. 45 miliar dan itu hanya dari satu film. Dari keuntungan tersebut dibagi menjadi dua antara pemilik bioskop dan produser film tersebut,” ungkapnya.
Alumni SD Muhammadiyah Ngupasan, Yogyakarta ini mengandai-andai, jika Muhammadiyah serius bergerak dakwah dan bisnis melalui film ini akan begitu luar biasa. Sebab jika keuntungan satu film saja sekian banyak, maka gerakan mencerdaskan melalui pendirian sekolah-sekolah yang dilakukan Muhammadiyah akan semakin masif.