MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Allah melaknat orang-orang yang menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai masjid. Sebab atau ‘illat larangan itu sebagaimana yang dinyatakan oleh Aisyah ra, dikhawatirkan bahwa masjid itu akan menjadi sumber timbulnya syirik. Pernyataan Aisyah itu dikuatkan oleh hadis:
“Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata: ‘Tatkala disampaikan kepada Nabi saw bahwa isteri-isteri beliau menyebut tentang gereja; kami melihat gereja di negeri Habasyah yang dinamakan Maria. Ummu Salamah dan Ummu Habibah pernah datang di negeri Habasyah, maka ia menyebut tentang kebagusannya dan gambar-gambar yang ada di dalamnya. Maka Rasulullah saw mengangkat kepalanya lalu bersabda: Mereka (orang Nashrani itu) jika di antara orang-orang shaleh mereka meninggal dunia, mereka membangun gereja di atas kuburannya, kemudian melukis pelbagai lukisan di dalamnya, mereka adalah seburuk-buruk makhluq di sisi Allah’.” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasaa‘i).
Dalam hadis lain disebutkan: “Telah menyampaikan kepadaku Ali bin Hujrin as-Sa‘di, telah menyampaikan kepada kami al-Walid bin Muslim yang diriwayatkan dari Ibnu Jabir dari Busyra bin Abdillah dari Watsilah dari Abu Martsad al-Ghanawi, ia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda: Janganlah kamu duduk-duduk di atas kuburan dan jangan pula salat menghadap kepadanya’.” (HR. Muslim).
Para ulama memandangnya (duduk di atas kuburan dan salat menghadap ke kuburan itu) sebagai larangan yang hukumnya makruh, sedang salat di tengah kuburan tetapi tidak menghadap kepadanya adalah mubah.
Penetapan hukum makruh sebagaimana yang dinyatakan para ulama di atas cukup beralasan, karena bila dipahami hubungan antara hadis-hadis di atas, maka kekhawatiran Aisyah itu dalam kaitannya untuk menutup pintu yang menuju perbuatan dosa (saadudz-dzarii‘ah).
Pada dasarnya kaum muslimin boleh melaksanakan salat dan membangun masjid di mana saja di atas bumi Allah ini, selama tempat itu suci dan tidak akan menimbulkan bibit kemusyrikan sedikitpun, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani. Rasulullah saw pernah melakukan salat jenazah pada suatu kuburan yang baru saja ditimbun, berdasarkan hadis:
“Hajjah bin Minhal memberitakan kepada kami, Syu‘bah memberitakan kepada kami, ia berkata Sulaiman asy-Syaibani berkata: ‘Aku mendengar asy-Sya‘biy berkata: Memberitakan kepada saya orang yang lewat bersama Nabi saw pada sebuah kuburan yang tepencil, lalu Nabi saw mengimami (salat) mereka dan mereka pun salat di belakang beliau. Aku bertanya: Siapa yang memberitakan kepada engkau wahai Abu ‘Amr, ia menjawab: Telah berkata Ibnu Abbas’.” (HR. al-Bukhari).
Pada hadis lain diterangkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah salat di kuburan dan tidak diterangkan macam salat yang dikerjakan oleh beliau: apakah salat wajib, salat sunat, atau salat jenazah, berdasarkan hadis:
“Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Muhammad bin ‘Urwah as-Sami, telah menceritakan kepada kami Ghundar, telah menceritakan kepada kami Syu‘bah diriwayatkan dari Habib bin asy-Syahid dari Tsabit dari Anas ra, bahwasanya Nabi saw telah salat di atas suatu kuburan.” (HR. Muslim).
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa boleh salat di kuburan selama salat itu dilakukan dengan ikhlas semata-mata mencari keridlaan Allah SWT, tidak ada unsur syirik sedikitpun di dalamnya dan tidak pula karena ada pendapat bahwa salat di atas kuburan tertentu itu lebih baik daripada di tempat lain, seperti untuk menghormati yang dikubur atau untuk meminta sesuatu kepada yang dikubur, atau ada unsur untuk mengkultuskan yang dikubur dan sebagainya. Dengan demikia, dapat diambil kesimpulan bahwa tidak dilarang salat di masjid yang dibelakangnya langsung ada kuburan.