MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – MAARIF Institute bekerjasama dengan P3M, menyelenggarakan Pelatihan Penguatan Kapasitas Think Tank, dengan tema; “Advokasi Kebijakan Untuk Penguatan Toleransi Dan Pencegahan Ekstremisme Kekerasan”.
Agus Muhammad dari P3M, dalam sambutannya mengatakan bahwa pelatihan advokasi ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas pemahaman di lingkungan aktivis Muhammadiyah dan NU. Besarnya potensi konflik komunal, menurut Agus, dilatarbelakangi banyak faktor, di antaranya sentimen primordial dan keagamaan, kesenjangan ekonomi, perbedaan pandangan politik, perlakuan tidak adil terhadap masyarakat, serta intoleransi dalam beragama. “Ketahanan masyarakat dapat diwujudkan jika masyarakat telah menemu-kenali secara partisipatif kerentanan, ancaman, risiko, kapasitas dan potensi”, jelas Agus.
Kegiatan yang dilakukan melalui Webinar ini dilaksanakan selama dua hari pada 17-18 Januari 2022 dengan menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya: Rumadi, Suyoto, Cahyo Nuryanto dan Rubby Khalifah. Acara ini dimoderatori oleh Hijroatul Maghfiroh.
Rumadi mengatakan bahwa ada beberapa hal yang harus kita ketahui yakni radikalisme dan terorisme. Radikalisme lebih terkait dengan problem intern keagamaan, sedangkan terorisme adalah fenomena global yang memerlukan tindakan global juga. Namun radikalisme kadangkala bisa berubah menjadi terorisme, meskipun tidak semuanya seperti itu. “Menguatnya fenomena radikalisme hari hari ini harus ditangani dengan melakukan strategi advokasi, baik itu dilakukan oleh negara, tokoh masyarakat atau para aktivis”.
Rubby Kholifah, melihat fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak akhir-akhir ini menjadi isu yang menonjol dalam pemberitaan media massa. Hal ini menjadi salah satu tantangan dalam melakukan kerja-kerja advokasi di daerah untuk pencegahan dan kontra radikalisme dan ekstremisme terutama dalam memperkuat keterlibatan masyarakat sipil. Fakta yang menarik dikemukakan oleh Dwi Ruby Khalifah bahwa penanganan korban terorisme yang bersifat general, rehabilitasi dan reintegrasi fokus ke mantan napiter masih kurang berdasarkan pangaruh utama gender serta penanganan teroris perempuan di lapas dan gender equality dan women empowerment belum jadi pilar utama.
Sementara Suyoto dan Cahyo Nuryanto, menambahkan bahwa kasus pelanggaran yang terjadi di daerah-daerah, perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah, serta mengambil kebijakan progresif untuk menjamin tata kelola pemerintahan yang inklusif dan toleran. Bagaimana advokasi berbasis HAM dan demokrasi dilakukan untuk pencegahan perkembangan ajaran ekstremisme dengan kekerasan. “Kita perlu aktif mendorong pemerintah segera merumuskan kebijakan dan program pada aspek pencegahan ekstremisme kekerasan dengan pendekatan yang tepat sasaran, sesuai kebutuhan untuk memperluas fungsi-fungsi mereka bagi pemajuan toleransi.” Jelas Suyoto.
Pelatihan ini diikuti oleh 50 peserta dari dua organisasi besar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah. Dari lingkungan NU: GP Anshor Pusat, GP Anshor DKI, Fatayat, PMII, Korp PMII Putri, IPNU, IPPNU, Wahid Foundation, Inklusi, SAS Institute, Gusdurian, MMS, Lakpesdam, AIDA, Desantara, Rahimah, KUPI. Sedangkan dari Muhammadiyah diwakili: Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, IPM, IMM, Rahma.ID., PSIPP, Setara Institute, MCCC, MDMC, JIB, DEEP, IB Times, NMCS, LSAF, PPIM, CRCS, ICRP.