Para Sahabat sejak masa kenabian telah mempertimbangkan maqashid dalam memahami perintah Allah Swt dan Rasulullah Saw. Misalnya, dalam kisah masyhur yang sering diceritakan para ahli hukum Islam tentang saat para Sahabat berbeda pendapat terkait hadis Nabi Saw saat Perang Khandaq yang berbunyi, “Janganlah sekali-kali kalian salat Ashar, kecuali di Bani Quraizhah”.
Dalam memahami perintah Nabi Saw ini, para Sahabat berbeda pendapat ada yang menunaikan salat Ashar di tengah perjalanan ada juga yang salat di Bani Quraizah.
Perbedaan pandangan ini terjadi karena golongan yang satu mempertimbangkan aspek maqashid dan golongan lainnya mempertimbangkan makna literal. Sayangnya jumhur Ulama pasca era Sahabat cenderung lebih mengandalkan makna literal daripada aspek maqashidi.
Pencetus Teori Maqashid
Dalam diskusi antara Jabatan Mufti Negeri Perlis dan Muhammadiyah pada Rabu (20/10), Alyasa Abubabakar menyebut bahwa cikal bakal teorisasi Maqashid dicetuskan oleh Ulama Syafi’iyyah yaitu Imam al-Haramain alJuwaini sekitar abad 11 Masehi.
Teori Maqashid ini kemudian disempurnakan lagi oleh murid al-Juwaini yaitu Imam al-Ghazali. Melalui tangan dinginnya, Hujjatul Islam membagi tiga tingkatan dalam Teori Maqashid, yaitu: Dlaruriyat (kebutuhan primer), Hajaiyyat (kebutuhan sekunder), dan Tahsiniyyat (kebutuhan tersier).
Setelah Imam al-Ghazali, ulama-ulama lainnya juga turut menghiasi dinamika teorisasi Maqashid seperti Izzudin bin Abdussalam, Syihab al-Din al-Qarafi, Najam al-Din al-Thufi, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu al-Qayyim.
Para ulama ini masih mendudukan Maqashid sebagai kata lain atau bagian dari mashalih al-mursalah dan tidak menempatkannya sebagai ushul al-syar’iyyah.
Imam al-Syatibi dan Teori Maqashid
Menurut Alyasa Abubakar, tokoh yang berjasa menjadikan teori Maqashid sebagai topik pembahasan tersendiri, yaitu Abu Ishaq al-Syatibi melalui kitabnya al-Muwafaqat. Dalam hal ini, Imam al-Syatibi mengajukan tiga perubahan penting dalam teorisasi Maqashid yang digunakan para ulama sebelumnya, di antaranya:
Pertama, menganggap kedudukan Maqashid sebagai bagian dari ushul al-syar’iyyah. Imam al-Syatibi menganggap bahwa Maqashid dengan tiga tingkatan yang dikemukakan Imam Al Ghazali di atas merupakan bagian dari ajaran pokok agama dan kaidah-kaidah syariah yang tidak dapat diabaikan.
Sehingga semua ijtihad hukum maupun putusan pengadilan harus ditimbang melalui Teori Maqashid ini. Pandangan ini berbeda dengan jumhur ulama sebelumnya yang masih memperlihatkan dominasi analisis normatif-tekstual.
Kedua, menggeser kedudukan Maqashid dari hikmah di balik hukum (al-hikmah min wara’I al-ahkam) menjadi prinsip-prinsip atau kaidah dasar dalam hukum (qawa’id al-ahkam).
Jadi tidak melihat Maqashid sesudah hukum ditetapkan melainkan menggunakan Maqashid sebagai pertimbangan dalam penetapan hukum.
Dengan kedudukan ini, maka Maqashid tidak dapat dikalahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat parsial (al-ahkam al-juziyyah).
Ketiga, memanfaatkan kolektivitas dalil dari berbagai bentuknya (istiqra’ al-ma’nawi) baik yang terkait dengan nash secara langsung (manqulah) atau tidak langsung (ghairu manqulah).
Kolektivitas antar dalil ini akan melahirkan satu pemahaman yang utuh tentang makna hakiki dari syari’at dan tujuannya ketika syari’at tersebut diberlakukan. Dari kolektivitas dalil ini lahirlah lima hal pokok yang menjadi maqashid dari hukum Islam yaitu menjaga agama, jiwa, keturunan, harta dan akal.
Hal ini berbeda dengan formulasi metodologis yang telah ditawarkan ulama-ulama sebelumnya yang lebih terpusat pada suatu analisis tekstual dengan model deduksi peraturan-peraturan konkrit dari nash.
Peran Penting Imam al-Syatibi
Meski demikian, kehadiran Imam al-Syatibi tidak menghapus paradigma literal (linguistik-teologis), tapi ingin lebih melengkapinya agar ilmu ini dapat lebih sempurna dalam memahami perintah Allah. Pada dasarnya proyek al-Syatibi ini ingin menggeser poros ilmu usul fikih dari deduksi teks-teks parsial kepada paradigma antroposentris.
Karenanya, fikih tidak hanya dicari di dalam teks-teks syariah saja, akan tetapi juga memperhatikan aspek-aspek pranata sosial kehidupan masyarakat. Teks-teks syariah tetap menjadi sumber utama yang memberikan bimbingan dalam kehidupan, tetapi pengalaman eksistensial kehidupan dalam suatu ruang sosial tertentu juga memberi wawasan bagaimana teks-teks syariah itu harus ditafsirkan.
Naskah: Ilham Ibrahim
Editor: Fauzan AS