MUHAMMADIYAH.OR.ID, PERLIS—Dalam sejarah perkembangan Islam, pemalsuan hadis merupakan suatu kenyataan. Di antara pakar hadis ada yang menyatakan bahwa pemalsuan hadis telah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Hal ini berangkat dari riwayat ancaman Nabi Saw terhadap setiap orang yang berbohong dan melakukan pendustaan atas nama beliau, “Barang siapa berdusta terhadap diriku secara sengaja, maka dia pasti akan disediakan tempat kembalinya di neraka”.
“Sebelum Hadis dikodifikasi, pemalsuan hadis telah terjadi. Ahmad Amin dalam kitab Fajr al-Islam menyatakan bahwa hadis palsu sudah muncul sejak Nabi SAW masih hidup. Karena ada hadis ancaman dari Rasulullah Saw ini mengindikasikan bahwa di zaman itu telah terjadi pemalsuan hadis,” Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto dalam acara yang diselenggarakan Jabatan Mufti Negeri Perlis pada Senin (18/10).
Pada masa Nabi Saw, pemalsuan hadis hanya berkisar dalam pusaran kepentingan muamalah antar individu masyarakat. Setelah Nabi Saw meninggal, khususnya ketika Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah, banyak motif yang melatarbelakangi seseorang memalsukan hadis. Puncaknya saat Umat Islam terpecah menjadi pendukung khalifah Ali bin Abi Thalib, pendukung Gubernur Mu’awiyah dan yang anti terhadap keduanya (khawarij).
Bila di zaman Nabi Saw pemalsuan hadis dilakukan untuk kepentingan muamalah-individu, maka pada peristiwa perang Shiffin tahun 37 Hijriyah dan fitnah kubra sekitar tahun 40 Hijriyah, pemalsuan hadis dilakukan untuk kepentingan politik-kolektif guna melegitimasi hawa nafsu mereka. Karenanya, pada saat itu sulit membedakan antara hadis maudhu (palsu) dengan hadis otentik (sahih).
“Pemalsuan hadis ini banyak dilakukan oleh orang-orang Khawarij. Tapi orang-orang yang pro terhadap Muawiyah maupun pro terhadap Ali bin Abi Thalib juga sama-sama melakukan pemalsuan hadis. Di samping itu juga memalsukan hadis dilakukan oleh orang-orang non-muslim,” ungkap Pria kelahiran Kulonprogo, 24 Januari 1968 ini.
Memasuki abad ke-3 Hijriyah, para ulama mulai memilah hadis-hadis sahih dan menyusunnya ke dalam berbagai topik. Meski demikian, Agung menginginkan agar pemeriksaan terhadap otentisitas hadis tidak berhenti di kitab-kitab Mu’tabar melainkan harus terus diteliti guna menghindari hadis-hadis palsu atau riwayat-riwayat lain yang lemah.