MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA—Sebelum merdeka, sekian banyak kesultanan di tanah Nusantara seperti di Aceh, Madura, Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan lain-lain. Dengan harapan akan meraih kemerdekaan dan kesejahteraan seutuhnya, kerajaan-kerajaan di Nusantara rela bergabung masuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai rumah bersama.
“Makanya para elit politik, pemerintah, dan negara jangan sampai melupakan harapan itu. Kalau sampai harapan ini dikecewakan, meraka juga toh tahu diri, dulu saya mendingan merdeka saja, dan itu yang terjadi di Eropa, negara-negara kecil penduduknya 5 juta, 10 juta, dan itu terjadi di Arab, itu juga negara-negara kecil,” tutur Prof Komaruddin Hidayat dalam acara Pengajian Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Jumat (13/08).
Bersatunya kerajaan-kerajaan Islam tersebut telah menunjukkan bahwa pada dasarnya watak umat Islam di Indonesia itu berpaham moderat. Hal tersebut menurut Prof dikarenakan tanah Nusantara yang subur memang tidak dipaksa untuk berjuang menghadapi panasnya sinar matahari layaknya padang pasir atau tidak perlu dipaksa melawan dinginnya butir-butir salju seperti kutub.
“Jadi penduduk Nusantara ini dimanjakan oleh alam. Negatifnya mentalnya jadi lembek, bukan pelari jarak jauh, manja. Tapi positifnya apa, kita banyak waktu longgar, sehingga muncul, seni-seni dan ritual keagamaan, Indonesia kaya sekali seni yang dikaitkan ritual keagamaan, kenapa , karena alamnya mendukung seperti itu,” ungkap Prof Komar.
Selain moderat, watak Islam di Indonesia itu toleran. Sebab, kata Prof Komar, penduduk Nusantara tidak dipaksa alam berebut sumber air dan padang rumput sebagaimana orang Arab. Penduduk Arab yang secara geografis tandus dan berpasir biasa berebut sumber daya alam yang sewaktu-waktu bisa menjadi pemicu perang antar suku. Dulu mereka berebut sumber air, sekarang sumber minyak.
“Orang Arab itu berebut sumber air dan padang rumput, kita kan tidak perlu, makanya di antara mereka perang itu biasa, mereka berebut ghanimah. Dulu sumber air, sekarang sumber minyak. Tapi kita kan tidak. Makanya budaya kita, budaya gotong royong, rukun,” tutur Prof Komar.