Pada Abad Pertengahan, peradaban Islam mewarnai dunia dengan ilmu pengetahuan. Bahkan dalam buku The Venture of Islam, Marshal Hodgson mengatakan bahwa Baghdad merupakan bintang paling bercahaya di semua gugus kota yang ada di planet bumi saat itu. Hal ini kemudian melahirkan istilah Islamdom, yang berarti kawasan di bawah pengaruh kekhilafahan Islam, meski saat itu mayoritas penduduknya bukan beragama Islam.
Selain Islamdom, ada juga term Islamicate, yang berarti kebudayaan populer yang terinspirasi dari Islam. Misalnya, fenomena orang yang ingin tampil seperti seorang muslim. Tidak hanya dalam estetika fashion, Islamicate juga merambah pada sisi pemikiran. Seorang filsuf bernama Maimonides, misalnya, pernah menulis satu kitab berjudul Dalalat al-Ha’irin (petunjuk bagi orang yang mengalami kebingungan) yang sangat terpengaruh filsafat Islam terutama Imam Al-Ghazali.
Namun saat ini, legasi pemikiran Islam itu sudah terkikis melalui kolonialisasi. Adanya kolonialisasi bukan hanya bersifat struktural-material, tapi yang lebih penting dari itu bersifat epistemik. Ekspansi dunia Barat bukan hanya menghapus memori umat Islam tentang bagaimana di masa lalu epistemologi Islam bekerja, tapi juga telah menempatkan bangsa Barat sebagai satu-satunya pusat rujukan (the only referent) dalam pikiran umat Islam.
Selain tidak adanya kontribusi Islam dalam menata dunia, dunia Islam juga tidak memiliki visi universalisme pandangan dunia Islam. Dunia Islam saat ini hanya fokus melayani fenomena lokal-partikular, tanpa ada keinginan melompati batas-batas geografis-teritorial. Jangkauan dakwah hanya terfokus pada ruang lingkup tertentu yang sangat kontras dengan ideologi-ideologi besar dunia yang memiliki visi global dan memutus sekat-sekat geografis.
Contohnya, paket lengkap liberalisme yang terdiri dari demokrasi, kapitalisme (pasar bebas), dan HAM ini secara percaya diri disebar ke seluruh dunia, menghapus perbatasan nasional dan menjadikan manusia sebagai komunitas global. Sehingga Pada tahun 1990an Francis Fukuyama dalam bukunya yang terkenal The End of History, menyebut bahwa manusia sepenuhnya akan bergerak pada satu titik, yaitu titik liberalisme. Dari sinilah lahir kolonialisme, penjajahan, dan lain-lain, karena ada misi memberadabkan dunia.
Kontras dengan dunia Islam saat ini. Karenanya, apa yang diperlukan hari ini adalah kepercayaan diri setiap umat Islam untuk menawarkan Islam sebagai entitas peradaban. Jadi, Islam bukan hanya fenomena lokal atau nasional, namun mendudukannya sebagai tawaran peradaban. Kekosongan ini hendaknya diisi oleh Muhammadiyah yang merupakan organisasi Islam paling tahan banting dalam sejarah dan paling tua di dunia.
Dalam memenuhi aspirasi ini, konsep apa yang akan hendak dijual Muhammadiyah di panggung internasional? Menurut saya, Ada tiga gagasan yang bisa ditawarkan ke panggung internasional dari keunikan pemikiran Islam Muhammadiyah.
Pertama, Konsep Islam Wasathiyyah Berkemajuan
Moderat atau Wasathiyah sebagai sikap dasar keagamaan memiliki pijakan kuat pada ayat Al-Quran tentang ummatan wasatha dalam QS al-Baqarah ayat 143. Ibnu Katsir menyebut bahwa ummatan wasathan merupakan citra ideal umat terbaik (khair al-ummah) sebagaimana yang termaktub dalam QS Ali Imran ayat 110.
Dalam Islam, wasathiyyah pada intinya bermakna sikap tengah di antara dua kubu ekstrem. Allah yang mengecam sikap ekstrem di semua dimensi hidup: dalam ibadah ritual, dilarang untuk ghuluw (QS. An-Nisa: 171), dalam muamalah dilarang keras untuk israf (QS. Al-A’raf :31), bahkan dalam perang sekalipun tidak membolehkan melakukan tindakan-tindakan di luar batas (QS. Al-Baqarah: 190). Konsep-konsep dasar ini menjadi pijakan oleh para ulama sehingga ideologi-ideologi ekstrem selalu marginal dan tertolak dalam Islam.
Karenanya, sikap yang terlalu kanan atau kiri (al-Tatarruf), perilaku yang berlebih-lebihan (al-Tasyaddud), dan perbuatan yang tidak proporsional (al-Ghuluw) merupakan antonim dari Wasathiyah. Karenanya, Islam Wasathiyyah berarti paham dan aliran pemikiran yang mengedepankan sikap toleran (tawassuth), adil (al-‘adl), bijak (al-hikmah), mengutamakan kebaikan (al-khairiyah) serta seimbang dan proporsional (i’tidal) dalam beragama.
Kedua, Darul Ahdi Wa Syahadah
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 di Makassar, Muhammadiyah memposisikan Pancasila sebagai Dar al-Ahdi Wa al-Syahadah. Ijtihad kontemporer Muhammadiyah tersebut berangkat dari situasi terkini di tubuh bangsa Indonesia sekaligus penegas identitas keislaman dan keindonesiaan. Secara bahasa Dar al-Ahdi Wa al-Syahadah berarti negara kesepakatan dan persaksian.
Konteks historis pemahaman darul ahdi berangkat dari kesepakatan tokoh-tokoh agama terutama Islam semisal Bagus Hadikusumo, Kasman Singadimedjo, dan lain-lain. Mereka berunding mencari titik temu agar konsepsi Pancasila diterima baik oleh kalangan islam maupun kalangan nasionalis. Karenanya, konsep darul ahdi ini hadiah dari umat beragama terutama umat muslim terhadap bangsa Indonesia.
Darul ahdi atau negara kesepakatan tidak cukup bila tidak dibarengi dengan al-syahadah atau persaksian. Al-syahadah merupakan keterlibatan langsung dalam mengatasi berbagai masalah, bekerja keras dalam mewujudkan kemaslahatan, dan aksi partisipatoris dari kaum muslim secara umum dan Muhammadiyah secara khusus dalam proses pembangunan bangsa Indonesia dan dunia.
Jika konsep Islam wasathiyah dalam kaitannya hubungan antar masyarakat, maka Konsep darul ahdi wa syahadah ini dapat menjadi tawaran dari Muhammadiyah untuk mengatasi masalah hubungan agama dan negara di berbagai dunia Islam.
Dengan konsep ini, hubungan antara agama dan negara adalah hubungan yang tidak sepenuhnya terintegrasi dan tidak pula sepenuhnya terpisah. Dengan konsep ini pula agama dapat memberikan kontribusi yang positif sebagai faktor integratif yang menghargai kemajemukan masyarakat dan bukan sebagai faktor disintegratif yang mendukung eksklusivisme dalam bernegara.
Ketiga, Kalender Islam Global
Kini ketika dunia telah masuk dalam peradaban global, dan umat manusia berada dalam satu sistem tata ruang global, sistem waktu umat Islam tidak dapat lagi bersifat acak, terpecah belah antara satu negara dan negara lainnya. Sehingga keberadaan suatu sistem yang mengatur waktu secara rapi dan terorganisasi di tingkat global merupakan satu keniscayaan bagi umat Islam.
Sistem tersebut tidak lain adalah Kalender Islam Global. Tanpa keberadaan Kalender Islam Global, akan tetap terjadi fenomena memilukan setiap tahunnya, yaitu ketika umat Islam berpecah belah dalam urusan puasa dan hari raya.
Menurut Muhamad Rofiq Muzakkir, argumen paling inti yang mendasari keharusan adanya kalender Islam yang bersifat internasional adalah kenyataan adanya syariat puasa Arafah yang dilakukan oleh umat Islam di seluruh dunia, tetapi waktunya terkait dengan pelaksanaan ibadah wukuf yang dilakukan jamaah haji di Arafah. Karena puasa Arafah terkait dengan wukuf di Arafah, maka kedua peristiwa tersebut harus jatuh pada tanggal yang sama. Dengan kata lain, tanggal 9 Zulhijjah yang ada di dunia Islam harus sama dengan tanggal 9 Zulhijjah yang ada di kota Makkah.
Prof Syamsul Anwar menawarkan prinsip-prinsip Kalender Islam Global: pertama, keselarasan hari dan tanggal di seluruh dunia; kedua, penggunaan hisab; ketiga, kesatuan matlak; keempat, globalisasi visibilitas hilal atau transfer imkanu rukyat dan; kelima, penerimaan Garis Tanggal Internasional. Pemikiran ini dapat menjadi daya tawar yang menarik di panggung internasional agar umat Islam yang sejak lama tidak memiliki kalender global ini sesegera mungkin melunasi utang peradaban.
Naskah: Ilham Ibrahim
Editor: Fauzan AS