Muhammadiyah telah melintasi usia 100 tahun ditantang untuk segera melakukan internasionalisasi pemikiran Islam Berkemajuan. Kita tentu tidak ingin bila gagasan-gagasan Muhammadiyah hanya khusus melayani lokal-keindonesiaan, tetapi juga ingin melewati pagar geografis-teritorial. Meski tidak sedikit intelektual Barat yang tertarik dengan pemikiran Islam Indonesia, khususnya Muhammadiyah, namun internal Muhammadiyah sendiri terlihat masih kebingungan apa yang hendak “dijual” ke pasar pemikiran dunia.
Amin Abdullah pernah menulis persoalan internasionalisasi pemikiran Islam Indonesia, khususnya Muhammadiyah. Menurutnya, ada banyak gagasan yang bisa ditawarkan ke panggung internasional dari keunikan pemikiran Islam Muhammadiyah. Misalnya, hubungan agama (Islam) dengan budaya lokal yang sangat genuine, hubungan seni, budaya dan agama yang tidak saling menjatuhkan, sistem negara-bangsa yang berbentuk kepulauan, dan hubungan antara agama dan negara yang uniknya bukan teokrasi bukan sekuler.
Gagasan-gagasan di atas ini menjadi tantangan gerakan sosial baru di pentas global yang antara lain dihadapi oleh Muhammadiyah dan umat Islam yang lain di Indonesia. Menurut Amin, dengan berbagai perguruan tinggi yang dimilikinya, lembaga-lembaga penelitian yang ada di dalamnya, jaringan yang tersebar di berbagai wilayah, dan jumlah dosen yang begitu banyak, Muhammadiyah dapat secara serentak seirama bersama-sama melakukan internasionalisasi pemikiran Islam Berkemajuan.
Tiga Langkah Merealisasikan Internasionalisasi Pemikiran Muhammadiyah
Amin Abdullah pernah menawarkan tiga langkah yang perlu direnungkan generasi muda untuk merealisasikan internasionalisasi pemikiran Muhammadiyah. Ketiga langkah ini merupakan hasil refleksi atas kesuksesan Gulen Movement yang dalam tempo dua dekade mampu merealisasikan visi pendidikan Fetahullah Gulen ke seluruh dunia.
Pertama, menerjemahkan buku, artikel, khazanah sosial, budaya, dan intelektual Muhammadiyah ke dalam bahasa Arab dengan kualitas terbaik untuk memenuhi “pasar” Timur Tengah. Dengan banyaknya perguruan tinggi Muhammadiyah, Amin berharap mereka segera melakukan penerjemahan gagasan-gagasan Islam Berkemajuan. Dengan begitu, pengalaman unik dan genuine tentang perjumpaan keindonesiaan dan keislaman dapat diakses di Timur Tengah dan beberapa negara pada belahan dunia lain.
Kedua, menjaring dan melayani minat mahasiswa internasional di perguruan tinggi Muhammadiyah. Kata Amin, seperti yang dilakukan oleh Gulen Movement, setelah mempunyai jaringan sekolah di seluruh dunia (140 negara), mereka kemudian mendirikan perguruan tinggi, yaitu Fetih University di Istanbul. Bahasa pengantar di kampus tersebut menggunakan bahasa Inggris. International Islamic University of Malaysia (IIUM) juga menggunakan pola yang sama.
Ketiga, berpikir out of the box. Kesuksesan Gulen Movement di dunia pendidikan internasional tidak lain karena mentalitas yang kuat dan berani keluar dari zona nyaman dalam berpikir tentang pemikiran sosial, agama dan pendidikan. Karenanya, kader Muhammadiyah memang seharusnya tidak merasa minder, memiliki self-confidence untuk mempelajari bahasa asing non-Inggris dan Arab, demi untuk memperkenalkan visi dan misi Islam Berkemajuan.
Realisasi Internasionalisasi Muhammadiyah
Setelah sukses mencerahkan Indonesia, fokus Persyarikatan pada abad kedua adalah mulai mencerahkan semesta. Inilah alasan mengapa tema Muktamar ke-48 setelah frasa “Memajukan Indonesia” adalah “Mencerahkan Semesta”. Mencerahkan semesta internasional sebetulnya keinginan Muhammadiyah sejak lama.
Memang terlihat utopis, tapi Muhammadiyah telah melakukan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan cita-cita besar itu. Hal tersebut dapat dilihat dari tiga faktor, di antaranya:
Pertama, menjamurnya Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) di berbagai belahan dunia. PCIM merupakan ekspatriat kader Muhammadiyah di luar negeri yang memiliki fungsi sebagai rumah bagi warga, simpatisan, dan siapapun yang bersinggungan dengan Persyarikatan. Selain membentuk struktur kepemimpinan, mereka juga aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat dakwah kultural. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri tidak melepaskan jati diri mereka sebagai kader Persyarikatan, tetapi juga dakwah kepada penduduk lokal agar dapat menikmati hasil pencerahan Muhammadiyah di tanah air.
Kedua, pendirian layanan pendidikan di Australia dan Malaysia. Muhammadiyah sedang menunggu dokumen legal mengenai ijin pemberdayaan dan pembangunan (Planning Permit) dari pemerintah Australia untuk mendirikan Muhammadiyah Australia College (MAC). Bahkan di Malaysia, Maszlee Malik selaku Menteri Pendidikan Malaysia menyambut baik rencana pendirian Universiti Muhammadiyah Malaysia (UMAM). Nantinya, UMAM akan bersifat terbuka untuk semua negara dan kebangsaan sebagai wujud pendidikan inklusif bagi semua di ranah global.
Ketiga, publikasi wacana melalui jurnal internasional. Muhammadiyah tidak hanya menyebarkan paham Islam wasathiyyah di Indonesia, namun juga berupaya menyebarkannya ke jejaring yang lebih luas yaitu jurnal internasional. Walau masih belum maksimal, upaya ini terus digalakkan agar cendekiawan lintas negara tahu dan memahami arti penting Muhammadiyah untuk semesta.
Naskah: Ilham Ibrahim
Editor: Fauzan AS