MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Saat penjajahan pemeritah kolonial Jepang terjadi, Indonesia berusaha untuk merdeka. Bagaimana BPUPKI persiapannya itu, kemudian langkah dan PPKI yang dibentuk oleh pemerintah Jepang sebenarnya sudah dipersiapkan tapi tidak berhasil menciptakan kemerdekaan.
Hal tersebut disampaikan Nur Aini Setiawati, Dosen Departemen Sejarah UGM pada Bedah Karya #2 yang diselenggarakan oleh MPI PP Muhammadiyah, Senin (9/8) malam.
“Pada waktu kemerdekaan Indonesia, masih direcoki oleh pemerintah Hindia Belanda dengan tentara sekutu pada 29 September tahun 1945 masuk ke Indonesia bergabung dalam South Asian Garment, nah itu mendarat di Jakarta yang mana mereka dibocengi pasukan Belanda yang disebut NICA (netherland in the civil administration),” tutur Aini.
Lebih lanjut, Aini menerangkan bahwasannya Pemerintah Indonesia menempuh dua jalur perjuangan untuk mencapai Kemerdekaan; (1) jalur diplomasi dan (2) jalur militer.
Pada jalur militer ada keterkaitan perjuangan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang turut mempertahankan Kemerdekaan Indonesia melalui perjuangan para ulama. Kala itu, ulama Muhammadiyah membentuk Askar Perang Sabil (APS) dan Markas Ulama Askar Perang Sabil (MUAPS) dalam rangka mempertahankan Indonesia.
“Kemudian ada agresi milter I , Muhammadiyah menerjunkan pasukan APS untuk pertama kalinya ke front pertempuran di daerah Mranggen dan Srondol,” kata dia.
Sementara pada agresi militer II, Muhammadiyah bekerja sama dengan pasukan TNI untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta.
“Sebenarnya gagasan untuk membentuk APS muncul sebagai reaksi terhadap situasi negara yang membahayakan eksistensinya, berhubung adanya aksi-aksi pihak Belanda yang semakin mengancam kehidupan masyarakat Indonesia. Ini kita tahu sudah merdeka, tapi masih direcoki terus sama pihak pemerintah Belanda,” jelas Aini.
Kemunculan Askar Perang Sabil
Kondisi tersebut, lanjut Aini, mengakibatkan munculnya ide para ulama Muhammadiyah di DIY untuk membentuk pasukan bersenjata dengan latar belakang dan motif keagamaan.
“Munculnya ideologi nasional dari para ulama Muhammadiyah dapat membangkitkan semangat juang (fighting spirit) untuk berperang di jalan Allah SWT (jihad fii sabilillah). kondisi yang mendesak inilah, ulama sebelum kemerdekaan, Masyumi sudah membentuk laskar sabilillah dan isbullah, kemudian kiai-kiai itu muncul lagi pada zaman revolusi fisik. Tahun 1947-1949 betul luar biasa, ketika ibukota berpindah ke Yogyakarta dan kemudian peperangan berkobar di Yogyakarta,” paparnya.
“Keadaan perang yang berkobar di yogyakarta mengakibatkan dilaksanakannya hukum Islam yang berkaitan dengn interaksi antar hukum muslimin dengan yang non muslimin. Hukum Islam menyatakan apabila kaum kafir menyerang negara Islam maka melakukan “jihad” dan mempertahankan negara hukumnya “wajib ‘ain” bagi seluruh penduduk,” sambungnya.
Pada masa itu sudah merupakan organisasi yang cukup menarik untuk membuat simbol simbol yang APS untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. APS merupakan pasukan pejuang umat Islam yang bersifat semi militer yang bertujuan untuk membantu pemerintah RI di front-front pertempuran.
Anggota APS meliputi, pertama keluarga bekas sabilillah yang didirikan pada akhir pendudukan jepang. Berumur 40 tahun ke bawah. yang kemudian memotori semua kegiatan APS baik dalam dan pertempuran melawan Belanda. Kedua, keluarga Pemuda bekas lascar Hizbullah dan kelompok pemuda kampung berumur 40 tahun ke bawah, terutama pemuda Islam telah mendapat izin dari orang tuanya. Ketiga, anggota APS terdiri dari semua kelompok sosial.
Para ulama yang tergabung dalam Sabilillah yang kemudian di APS di antaranya; K.H Machfudz, H. Juraimi, K.H. Ahmad Badawi, K.H. Amin, K.H. Abdullah Kiai inilah yang bergabung sejak jaman dan kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkannya ketetapan presiden RI 3 Juni 1947 tentang berdirinya TNI, maka sebagian barisan sabillillah dan Hizbullah di Yogyakarta meleburkan ke dalam TNI sedangkan yang lainnya tergabung dalam pasukan bersenjata APS dan diorganisasikan dalam wadahnya MUAPS (Maskar Ulama Askar Perang Sabil).
Setelah kemerdekaan menghadapi revolusi fisik, melihat ada perjanjian yang diadakan pemerintah Indonesia dengan Belanda tidak tercapai, kemudian pada tanggal 23 Juli 1947 para ulama itu mendirikan APS dan MUAPS. Para Pendirinya adalah K.H Machfudz, H. Juraimi, K.H Amin, K.H. Abdullah, K.H.R Hadjid, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Mahfudz Siradj, K.H. Ahmad Badawi, Bakri Sahid, M. Sabrini, K.H. Abdullah Mabrur
Susunan Pengurus APS
Penasehat : Ki Bagus Hadikusumo
Imam : K.H. Mahfudz Sirad
Ketua : K.H.R Hadjid
Wakil Ketua : K.H. Ahmad Badawi,
Bendahara : K.H Abdul Azis dan H. Hasyim
Komandan : M . Sarbini
Wakil Komandan : K.H. Juraimi
Ketua Staf Penerangan : Siradj Dahlan
Staf Perlengkapan : Abdul Djawab
Kepala Bagian Persenjataan : M. Bakri Sudja’
Kepala Logistik : Bakri Sahid
Kepala Administrasi : K.H. Daim
“Inilah susunan pengurus MUPS yang umurnya 40 tahun ke atas, sebagai penasehat dan memberi motivasi bagaimana perang jihad perlu dilakukan ketika membela kemerdekaan Indonesia. Kemudian peta perang gerilya di DIY menyeluruh, mulai dari Yogyakarta sampai ke wilayah Bantul, Kulon Progo sampai ke gunung kidul sampai juga ke Sleman, semua tersebar, karena pemerintah Belanda juga masuk ke sana. Bagaimana mereka berusaha untuk meleburkan wilayah di DIY,” pungkas Aini.