MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Ketika puasa Ramadan selesai, maka tanggal 1 syawal menjadi hari yang dirasa patut dirayakan. Bergembira dengan datangnya Syawal memang tidak terhindarkan. Umat Islam menyebutnya sebagai hari kemenangan. Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Shoimah Kastolani menerangkan tiga makna kemenangan di hari raya Idul Fitri.
Pertama, kemenangan spiritual. Menurutnya inilah kemenangan jiwa yang bersih dari syirik, hasud dan dengki, dan kesombongan. Setelah Ramadan berakhir yang membatasi segala fungsi biologis, kesucian spiritual harus tetap dirawat. Sebab dalam QS. Al-Syams 9-10 disebutkan bahwa “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.”
“Karena itu orang yang bersih jiwanya insyaAllah akan membentengi diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah, membentengi diri dari penyimpangan dan membentengi diri dari penodaan terhadap aturan-aturan Allah,” tegas Shoimah dalam acara HalalBihalal – Silaturahmi Idulfitri 1442 H Keluarga Besar Muhammadiyah pada Ahad (23/05).
Kedua, kemenangan emosional. Menurutnya, kemenangan emosional berarti keberhasilan mengontrol emosi. Kemampuan mengontrol emosi berarti mengedepankan sikap kesabaran. Sabar, kata Shoimah, bukan simbol kelemahan melainkan satu kekuatan yang harus dipertahankan.
Shoimah kemudian mengutip hadis Hadits dari Abu Hurairah dengan derajat Muttafaq ‘alaih bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Orang kuat bukanlah orang yang sering menang berkelahi, akan tetapi orang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya ketika marah.”
“Kesabaran merupakan karakter yang utama. Ketika kita puasa pun jangan membuat kegaduhan dan apabila ada orang yang mengajak bertengkar tegaskanlah ‘inni shaimun’ atau saya sedang berpuasa. Orang yang berpuasa akan menahan emosinya sehingga tidak membuat balasan cacian atau dendam,” tuturnya.
Ketiga, kemenangan intelektual. Menurutnya, kemenangan ini ditandai dengan melahirkan sosok muslim yang mampu membaca situasi dan kondisi. Bagi alumni Pondok Pesantren Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta ini, kecerdasan bukan hanya melampaui nilai-nilai yang telah ditentukan, tetapi juga kesesuaian antara kualitas dan kuantitas.
Penjelasan Shoimah ini diperkuat dengan hadis Nabi saw yang menegaskan bahwa manusia yang cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik dalam mempersiapkan bekal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian.
“Dengan demikian, kecerdasan intelektual dalam Islam adalah mampu membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mampu mempertimbangkan mana yang manfaat dan mana mudlarat, dan mengerti pula mana yang wajib dan mana yang bukan,” jelasnya.