Oleh: Usman Hamid
Direktur Amnesty Indonesia
Secara etimologi, Idul Fitri diambil dari Bahasa Arab ʿĪd al-Fiṭr, artinya “Festival Berbuka Puasa”. Ini adalah festival pertama dari dua festival kanonik Islam. Itu sebabnya setiap tahun, kita merayakan Idul Fitri selama awal Syawal. Saling menyapa sahabat, kerabat dan tetangga, atau saling berbagi bahagia.
Namun saat ini, festival itu berbeda. Untuk kedua kalinya kita dihadapkan pada pandemi, krisis kesehatan, dan resesi, krisis perekonomian. Banyak orang dirumahkan, banyak usaha tutup, pola ibadah beralih pada cara virtual, kesenjangan ekonomi dan sosial, naiknya kekerasan pada perempuan dan kelompok rentan, termasuk anak-anak, ancaman pada tenaga kesehatan, hingga krisis di KPK di Indonesia dan krisis HAM di Palestina. Semuanya sangat mengoyak jiwa-jiwa yang hendak kembali pada kesucian diri.
Oleh karena itu, izinkan khatib mengajak para jamaah merefleksikan satu saja dari permasalahan tersebut. Khatib juga mengajak jemaah merenungkan makna Idul Fitri dalam situasi demikian, apakah kita benar- benar telah kembali ke fitrah? Merenungkan keterkaitan hubungan diri dengan Allah, sesama manusia, dan alam yang kemudian akan berpengaruh pada laku kita sehari-hari? Hikmah apa yang dipetik di balik situasi ini?
Idul Fitri menandai akhir Ramadhan di mana orang-orang yang berserah diri berpuasa, sebagaimana umat- umat terdahulu sebelum Islam: Nasrani dan Yahudi. Berpuasa bukan hanya menahan diri dari lapar dan dahaga, tapi hawa nafsu, terutama nafsu menguasai (nafsu ammarah), dan nafsu membanggakan diri dan merendahkan yang lain atau bahkan menyingkirkan yang lain (nafsul lawwamah).
Hawa nafsu terkadang bukan datang dari sifat yang negatif. Seringkali ia datang dari sifat yang dirasa positif. Salah satunya ialah wawasan kebangsaan, cinta tanah air atau nasionalisme yang digunakan untuk mencela yang lain, menguasai dan menyingkirkan yang lain.
Apakah itu tanah air dan nasionalisme? Sayyid Muhammad dalam al-Tahliyah wa al-Targhib fi al-Tarbiyah wa al-Tahdzib (al-Ma’had al-Islami Lirboyo Kediri) mengatakan, “Tanah air ialah negeri tempat engkau dilahirkan, dibesarkan, dan mengambil manfaat tumbuh-tumbuhannya, binatang ternaknya, udara serta airnya. Juga tempat tinggalmu yang berada di atas tanah dan di bawah langitnya, dan hal-hal istimewa lainnya yang sangat potensial, yang mengharuskan setiap orang mengorbankan jiwa dan hartanya dalam mengabdi pada tanah air dengan melakukan upaya-upaya, yang dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraannya.”
Lebih jauh, Syaikh Musthafa al-Ghulayaini menjelaskan, nasionalisme yang sejati adalah kecintaan berusaha untuk kebaikan negara dan bekerja demi kepentingannya, sedangkan seorang nasionalis tulen adalah orang yang rela mati demi tegaknya negara dan rela sakit demi kebaikan rakyatnya.
Tidak ada yang salah dari wawasan kebangsaan sejauh itu didasarkan pada nilai-nilai kebajikan dan melawan kekejian. Merupakan sifat manusia mencintai tanah airnya, tempat lahir, tumbuh, dan dibesarkan. Setiap anak bangsa yang mencintai tanah air dan penduduknya dengan cara mengamalkan agamanya dalam menunaikan tugas negara melawan korupsi dan kezaliman adalah hal yang bajik, wajib dilindungi. Bukan dicurigai.
Memang, terdapat ekspresi nasionalisme yang berlebihan, yang penuh nafsu. Laporan Komisaris Tinggi PBB pada 2020 mencatat, tumbuhnya nasionalisme telah ikut mendorong lahirnya sikap-sikap ekslusif yang membawa kebencian pada orang lain atas dasar asal-usul kebangsaan atau xenophobia, extremisme, serta kebencian yang menyulut kekerasan dan diskriminasi.
Perlu dibedakan antara paham nasionalisme yang artifisial dan yang esensial atau yang sejati. Demikian hal yang terkait paham lainnya, paham komunisme, sosialisme, islamisme, atau pluralisme yang ditunjukkan dengan cara-cara merendahkan dan menyingkirkan pihak lain, tidak dapat dibenarkan. Di titik inilah paham yang radikal ekstrem perlu dimoderasi. Baik moderasi paham keagamaan maupun moderasi paham-paham lainnya.
Dari perspektif hukum hak asasi manusia, adalah tanggungjawab negara untuk memastikan bahwa ekspresi dan tindakan atas nama nasionalisme tidak diterapkan dengan cara-cara yang membawa nafsul lawwamah dan nafsul ammarah. Jika ada yang diduga melanggar, maka proses hukumlah secara adil, berikanlah hak untuk membela diri, hadirkanlah bukti-bukti yang objektif.
Dalam perspektif Islam, mencintai negeri dan mengamalkan keyakinan agama justru diajarkan. Rasulullah Saw bersabda Hubbul wathan minal iman, mencintai negeri bagian dari iman. Kata iman merujuk siapa saja, Muslim, Nasrani, Yahudi dan semua yang mencintai negeri sebagai bagian dari keimanannya dan penerapan keyakinan agamanya.
Belajarlah dari Nabi Ibrahim a.s. Rasa kebangsaannya diabadikan dalam Alquran. QS An-Nahl ayat 41: Dan (ingatlah), saat Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian.”
Wawasan kebangsaan beliau berdoa untuk negerinya agar aman dan sentausa; berdoa untuk penduduknya yang beriman tanpa membedakan agama, suku, warna kulit, dan identitas jender; dan berdoa pula untuk kesuburan alam yang memberikan buah-buahan sebagai rezeki untuk penduduknya. Sebuah wawasan yang membawa pesan keadilan sosial, keadilan gender sekaligus pesan keadilan lingkungan.
Belajarlah dari Nabi Muhammad Saw. Rasulullah mencintai negeri Makkah sebagai bagian dari iman. Di saat orang-orang berkuasa mengusirnya, ia meninggalkan kota Makkah menuju Madinah: menyelamatkan diri dan pengikutnya. Sambil menangis menatap kota Makkah, beliau bersabda: “Demi Allah, sungguh aku tahu engkau adalah tanah Allah yang terbaik yang sangat aku cintai. Kalau tidak karena kaumku mengusirku darimu, aku tidak akan pernah tinggal di tempat lain selainmu.” [HR. al-Tirmidhi].
Rasulullah bersedih. Namun ia tidak mencintai negerinya secara buta. Ia membangun rasa cinta pada negeri asing yang baru disinggahinya: Madinah. Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. Rasulullah Saw berdoa: “Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah atau bahkan melebihinya,” [HR. al- Bukhari] Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Rasulullah juga bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim adalah hamba-Mu, kekasih-Mu, dan nabi-Mu. Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu dan nabi-Mu. Sungguh ia berdoa kepada-Mu untuk Makkah, maka aku berdoa kepada-Mu untuk Madinah seperti apa yang ia doakan untuk Makkah.” [HR. Imam Muslim]
Dari mereka kita belajar, rasa kebangsaan tumbuh karena kita menghirup udara, menempati tanah tempat tinggal, meminum airnya dan menikmati cahaya matahari yang menyinari kehidupan kita sepanjang hayat di negeri kita. Dari mereka pula kita belajar agar tak berwawasan kebangsaan yang buta. Paham kebangsaan yang terlalu ke kanan (populisme radikal), atau terlalu ke kiri (solidarisme), harus dimoderasi. Parameternya adalah pakta kebajikan publik (hilful fudhul) sebagai jalan tengah (al-wasathiyah).
Sebagaimana yang dilakukannya pada Makkah, kecintaan beliau pada Madinah didasarkan pada nilai-nilai kebajikan, terutama kewajiban menjaga lima hal pokok (al-dharuriyat al-khamsah) tentang HAM (al-Huquq al- Insaniyah): penghormatan hak beragama (hifdzun ad-diin); penghormatan jiwa, hak hidup dan martabat individu (hifdzunan-nafs wa al-ir’d); kebebasan berpikir (hifdzun al-aql); keharusan menjaga keturunan (hifdzun al-nasb) dan menjaga harta benda (hifdzun al-maal).
Inilah lima hal mendasar yang dikenang dari Pidato Perpisahan Nabi Muhammad (Khuthbat-u ”l-Wadâ‘) sebagai panduan pengikutnya dalam menjaga wawasan kebangsaan yang berkeadilan. Bukan yang berlebihan, sebagaimana kita saksikan baru-baru ini: atas nama tes wawasan kebangsaan yang sekejap di badan antirasuah, mereka melecehkan hak kemanusiaan banyak orang, melupakan integritas, keahlian, dan dedikasi bertahun-tahun.
Kelima hal pokok tadi adalah keadilan. Allah Swt sangat mencintai keadilan. Keadilan begitu menonjol dalam Al-Quran sehingga ikut menjadi alasan mengapa Allah menciptakan bumi dan langit. Allah berfirman: “Dan kami telah menciptakan langit dan bumi dalam Kebenaran sehingga setiap jiwa memperoleh balasan yang adil atas apa yang diupayakan dan agar tak tertindas” (QS Al-Jatsiyah: 22)
Pada ayat tersebut, keadilan dikenali dari kata bil-haq, artinya ‘di dalam Kebenaran’ atau in Truth. Juga dari kata Tafsir Al-Mukhtashar (Riyadh) menjelaskan, penciptaan langit dan bumi dilakukan dengan kebenaran, keadilan, dan kebijaksanaan. Sebagai manusia, kita diwajibkan membela keadilan untuk negeri kita sendiri, yang terletak di atas Bumi Allah dan di bawah langit Allah, serta warga negeri kita sendiri, yang merupakan makhluk ciptaan Allah.
Allah tak mengurangi kebaikan, tak menambah kejahatan atas amal baik atau buruk. Tak ada satu jiwa pun yang tak diperlakukan adil. Ke arah itulah kita bertindak. Begawan Mufasir Indonesia Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah mengatakan, “setiap orang akan diberi balasan sesuai dengan apa yang mereka perbuat. Mereka tidak dicurangi dengan kurangnya pahala atau lebihnya hukuman.”
Keadilan bagi “tiap jiwa” artinya bagi tiap makhluk manusia seperti kita—apa pun identas gendernya, tiap makhluk binatang seperti burung-burung yang bertasbih bersama Nabi Daud a.s. di saat fajar, tiap gunung dan pepohonan yang bernafas dari mulut daunnya, tiap tanah air dan udara alam raya serta matahari yang menghidupkan tiap jiwa di suatu negeri yang darinya tumbuh kecintaan pada tanah air.
Keadilan adalah kualitas Allah Yang Maha Adil, yang berulang kali ditegaskan-Nya. Allah berfirman: “Sungguh, Allah tak akan menzalimi [siapa pun] (walaupun seukuran biji dzarrah); dan jika ada amal baik (sekecil dzarrah), niscaya Allah akan melipatgandakan dan menganugerahkan pahala yang besar dari sisi- Nya”. (QS. An-Nisa’: 40). Allah juga berfirman: “Sungguh, Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, kecuali manusia itu yang menzalimi diri mereka sendiri”. (QS. Yunus: 44).
Dari Abu Dharr, Imam Muslim meriwayatkan, Rasulullah mengabarkan perintah Allah kepada hamba-Nya: “Wahai hamba-Ku, Aku telah melarang ketidakadilan pada-Ku dan membuat ketidakadilan itu terlarang bagimu dan karenanya engkau dilarang berbuat tidak adil pada sesama.” (HR Muslim).
Inilah ajaran keadilan Allah. Memberi keadilan atas kebaikan sekecil apa pun. Melarang ketidakadilan atas kejahatan sebesar apa pun, kecuali balasan yang adil yang pantas diterimanya. Jika ada di antara kita yang gagal tes wawasan kebangsaan, adilkah jika seluruh pengabdiannya pada negeri ini dilupakan? Allah berfirman: “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa (mendekati kesadaran akan Allah). Dan tetaplah sadar akan Allah: sungguh, Allah Maha Mengetahui segala yang kalian kerjakan” (Al-Maidah: 8).
Ada banyak ayat keadilan. Keseluruhan ayat ini mewajibkan kita untuk senantiasa berbuat adil, dalam segala hal. Keadilan sosial kepada sesama, keadilan gender, maupun keadilan keadilan iklim pada alam raya. Pesan ini penting karena realitas kehidupan kita masih memunculkan pertanyaan besar.
Mengapa pejabat kita berseru Bhineka Tunggal Ika, NKRI, Pancasila, dan UUD 1945, tetapi bungkam melihat korupsi, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan bahkan pelecehan terhadap perempuan? Ditanya wawasan gender dan hak perempuan, misalnya soal peran istri, jawabnya adalah istri itu cukup di kasur, sumur, dan dapur. Ditanya keadilan restoratif untuk kekerasan seksual, jawabnya bukanlah keadilan hakiki harus dihadirkan melampaui hukum, melainkan meniadakannya dan meremehkan korban. Ditanya soal diskriminasi lesbian, gay, biseksual, dan transgender dari diskriminasi, jawabnya kelompok ini adalah impor dari barat dan perang proxy barat. Ini bukanlah cermin wawasan kebangsaan berkeadilan gender.
Ditagih karena janji memperkuat lembaga antirasuah sepuluh kali, jawabnya adalah pelabelan talibanisasi, pelemahan institusi, dan penyingkiran orang-orang yang berdedikasi. Padahal lembaga dan orang-orang ini berjibaku melawan penyimpangan kekuasaan dan keserakahan orang-orang yang gemar menumpuk harta dan kehormatan di atas kerusakan lingkungan dan penderitaan. Ditanya mengapa ada lubang tambang, pejabat kita tergagap dan mengatakan barangkali di lubang-lubang tambang itu ada hantu. Ditanya soal iklim dan pengurangan emisi, pejabat kita justru meremehkan. Ini pun bukanlah wawasan kebangsaan yang berkeadilan iklim.
Padahal laporan Oxfam 2020 tentang Confronting Carbon Inequality, 1% orang terkaya bertanggungjawab atas dua kali lebih banyak polusi karbon daripada 3,1 miliar orang yang merupakan separuh populasi miskin dalam 25 tahun terakhir. Laporan Oxfam 2017 menyebutkan kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia setara dengan 100 juta orang termiskin. Daratan negeri kita dikuasai kaum terkaya melalui perizinan dan konsesi yang diberikan pejabat pemerintah yang ironinya kerap bersembunyi di balik wawasan kebangsaan.
Kesimpulannya, hendaklah wawasan kebangsaan itu berpijak pada nilai-nilai yang esensial seperti keadilan, mengendalikan nafsu amarah, nafsu lawwamah, dan nafsul muthmainnah. Hendaklah kita tidak mencurigai seseorang, apalagi dengan isu-isu terkait keyakinan mereka yang mengamalkan agamanya–Islam, Kristen, atau agama lain–untuk memberantas rasuah. Penyingkiran mereka adalah kekeliruan.
Jika manifestasi keagamaan seseorang terlalu ke kanan, janganlah lantas difitnah, disingkirkan atau dibunuh secara ekstrayudisial. Paham kebangsaan seperti ini tak lebih dari paham pluralisme represif (Fealy 2020). Wawasan kebangsaan tidak akan terwujud dengan cara-cara represif disintegratif. Ia haruslah dengan nilai- nilai integratif persuasif seperti kebenaran, kebijaksanaan dan keadilan.
Kita tidak pernah tahu rahasia Allah akan usia, kullu nafsin dzaaiqatul maut, karena setiap yang bernyawa akan merasakan kematian, maka marilah kita isi hari-hari pasca Ramadhan dengan wawasan kebangsaan yang esensial, yang memiliki cakrawala luas dalam perwujudan keadilan, baik keadilan sosial, keadilan gender dan keadilan iklim yang kait-berkait dengan peningkatan keimanan dan perbaikan akhlak manusia, serta merupakan upaya untuk meraih visi Islam sebagai agama rahmatan lil’aalamiin. Upaya ini tidak bisa dilakukan sendiri. Dengan keterbatasan kita sebagai manusia, kelompok, dan organisasi, maka saling kenal (ta’aruf) dan saling kerjasama (ta’awun) berbagai pihak sangat penting untuk bisa mewujudkannya.
Dengan cara itulah maka insya Allah, kita akan benar-benar kembali ke fitrah kita sebagai manusia, makhluk ciptaan-Nya yang disucikan dan didapuk sebagai khalifah bumi, untuk mewujudkan visi misi tertinggi Islam: membawa rahmat bagi semesta alam dan menegakkan keadilan bagi sesama dan alam. Jangan sampai kita menjadi manusia bangkrut, yang menurut Rasulullah adalah “orang yang pada hari kiamat datang dengan shalat, puasa, dan zakat, tapi selalu mencaci-maki, menuduh, dan makan harta orang lain serta membunuh dan menyakiti orang lain.” [HR. Muslim].
*Catatan editor: tulisan ini disarikan dari naskah khutbah Idul Fitri 1442H/2021 berjudul Wawasan Kebangsaan dan Kewajiban Membela Keadilan. Diterbitkan atas izin penulis. Kepada penulis dan Parid Ridwanuddin, redaksi ucapkan terima kasih.
Editor: Fauzan AS