MUHAMMADIYAH.ID, CALIFORNIA – Barangkali, berkah terbesar bulan suci Ramadan bagi umat Islam di Amerika adalah terbukanya pintu silaturahmi yang lebih luas dibandingkan dengan sebelas bulan lainnya.
Melalui perayaan ibadah salat tarawih dan iftar (buka puasa), meningkatnya intensitas interaksi kaum minoritas seperti mereka terasa bagaikan oase di tengah kegersangan. Perjumpaan di masjid dalam agenda jamaah, turut memberi nuansa Keislaman sekaligus mengikis kerinduan pada semarak keagamaan kampung halaman nun jauh di sana.
Sayangnya, pandemi Covid-19 memaksa seluruh umat manusia membatasi berbagai macam kegiatan berbasis sosial. Bulan suci Ramadan pun, harus dijumpai dengan pemaknaan berbeda.
Adaptasi Baru, Sebagian Masjid Telah Dibuka
Selain kewaspadaan, warga Muhammadiyah di Amerika Serikat (AS) menghadapi tahun kedua Ramadan di masa pandemi dengan penuh kegembiraan.
Berada di musim panas yang memiliki durasi waktu siang lebih panjang, mereka harus berpuasa selama 14 hingga 15 jam. Aktivitas Ramadan luring warga Muhammadiyah pun berbeda-beda sesuai kebijakan masing-masing negara bagian.
Seperti diketahui, Amerika Serikat merupakan negara daratan terbesar ketiga di dunia dengan jumlah 50 negara bagian. Tahun 2010 hanya ada 2100 masjid di seluruh Amerika. Meski diperkirakan meningkat dalam satu dekade terakhir, jumlah keseluruhan masjid di Amerika tak mengungguli jumlah masjid di Kota Jakarta Timur.
Dalam urusan keagamaan umat Islam, beberapa negara bagian seperti Boston dan Dallas membolehkan masjid mengeluarkan suara azan dengan pengeras suara secara publik. Sementara negara bagian lainnya tidak mengizinkan.
Masjid-masjid di AS pun penuh warna karena dikelola berdasarkan identitas perantau sehingga jamak dikenal ada masjid komunitas Pakistan, masjid komunitas Turki, masjid komunitas Afrika hingga masjid komunitas Asia. Sama halnya dengan perizinan azan, perizinan aktivitas di masjid pun juga berbeda.
Beda Ramadan Amerika Tahun ini Menurut Warga Muhammadiyah
Wakil Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat Nana Firman mengungkapkan bahwa Ramadan kali ini setidaknya terasa lebih baik daripada Ramadan tahun lalu saat pandemi baru terjadi.
“Tahun ini memang masa Ramadan di masa pandemi yang sekarang itu beda-beda di negara bagian, jadi ada yang terbuka banget masjid-masjid, biasa aja gitu datang seperti biasa ketika buka puasa gitu kan orang datang ke masjid, lalu lanjut dengan tarawih, tapi ada juga yang buka puasa karena pandemi bukanya Jumat Sabtu Minggu. Sedangkan Senin sampai Kamis Tarawih aja,” ungkapnya, Ahad (18/4).
Selain cara seperti di atas, Nana yang tinggal di pusat kegiatan PCIM Amerika yaitu di Negara Bagian California mengungkapkan bahwa ada pula masjid yang membuka giliran jamaah masjid sesuai daftar antrian yang telah dibuat jauh-jauh hari.
Ikut Tuntunan Ibadah Muhammadiyah
Nana sendiri seperti sebagian anggota Muhammadiyah yang lain memilih tetap mengikuti pedoman tuntunan ibadah Persyarikatan Muhammadiyah di masa pandemi untuk menahan diri tidak beraktivitas di masjid.
“Sekarang udah mulai dapat vaksin. Hanya vaksin tidak menjamin aman seratus persen. Kita tetap harus menjaga kesehatan. Kita tidak tahu siapa aja orang yang datang ke masjid itu dari mana dan habis ketemu siapa gitu. Nah saya masih memilih salat tarawih dan buka puasa di rumah. Masih belum yakin harus ke masjid untuk waktu dekat ini,” ungkapnya.
Masalah Asian Hate di Amerika Selama Ramadan
Menghabiskan waktu puasa di rumah juga punya konteks lain. Situasi di Amerika sempat tegang beberapa bulan belakangan. Salah sebabanya adalah penyebaran kebencian rasial di ruang publik. Beberapa orang berlatar Asia di Amerika mendapat diskriminasi dan kekerasan. Kejadian ini dikenal dengan istilah asian hate.
Lembaga masyarakat Stop AAPI Hate misalnya mencatat bahwa dalam setahun terakhir di Amerika Serikat terdapat 3.795 keluhan rasial sentimen anti asia dengan rincian 68% merupakan pelecehan verbal, sementara 11% lainnya melibatkan serangan fisik. Termasuk 6 perempuan asia yang tewas sebagai korban.
Sentimen dan kebencian rasial diyakini tumbuh subur akibat provokasi mantan Presiden AS Donald Trump yang menyebut virus Covid-19 sebagai Chinese Virus di awal-awal kemunculan pandemi.
California sebagai pusat kegiatan PCIM AS disyukuri Nana Firman tidak begitu terpengaruh oleh kebencian rasial mengingat diaspora kelompok Asia di wilayah itu sangat dominan. Apalagi orang Asia memegang bisnis strategis seperti ritel, laundry, dan lain sebagainya.
“Jadi kalau di kita sih ga merasakan langsung, tapi di kotanya pengurus PCIM dan anggotanya (yang lain) ya ada misalnya di Atalanta,” ungkapnya.
Apakah Dampak Pergantian Presiden AS Dirasakan PCIM?
Dakwah Muhammadiyah di Amerika Serikat ditandai dengan berdirinya Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) pada tahun 2008 dengan anggota yang tersebar di beberapa negara bagian. Meski berdiri sejak 2008, kepengurusan PCIM AS pertama dimulai pada masa 2013-2015 yang diperpanjang hingga tahun 2019.
Kali ini, masa kepengurusan kedua PCIM AS dilanjutkan dengan mengembangkan berbagai program bagi warga Muhammadiyah di Amerika Serikat secara virtual seperti pengajian rutin soal ilmu tajwid dan tahsin Al-Qur’an, pengajian rutin kitab Klasik seperti Ihya Ulumuddin Imam Ghazali, Madarijus Salikin, pemahaman Manhaj Tarjih hingga program pengembangan skill berbasis hobi dan passion.
Tak banyak berubah, aktivitas serupa juga tetap dilanjutkan pada bulan Ramadan dengan turut menggandeng komunitas Islam lain di Amerika baik dari komunitas Indonesia seperti PCI NU hingga organisasi keagamaan IMAAM.
Islam Amerika Pasca-Trump
Ditelisik lebih lanjut apakah pergantian Presiden AS dari Donald Trump kepada Joe Biden mempengaruhi kehidupan umat muslim Amerika, Nana Firman mengungkapkan belum terdapat perbedaan berarti.
Joe Biden menurut Nana tampak berupaya merangkul umat Islam Amerika yang selama ini terkesan tidak terakomodasi oleh Donald Trump. Kegiatan tahunan buka bersama Ramadan dan perayaan Idul Fitri di Gedung Putih, rencananya bakal digelar kembali tahun depan dengan melibatkan umat muslim dari banyak kalangan.
Tradisi yang telah dimulai sejak masa Presiden ke-42 Amerika Bill Clinton itu dilakukan secara terbatas pada masa Trump hanya mengundang sedikit perwakilan Kedutaan dan tidak menggandeng tokoh-tokoh agama muslim di luar pemerintahan.
Meski nampaknya ramah terhadap umat muslim Amerika, Nana juga berharap kebijakan Presiden Joe Biden juga ramah terhadap dunia Islam. Sebab, latar belakang Partai Demokrat yang mengusung Joe Biden memiliki rekam jejak banyak kebijakan mengirim pasukan ke negara-negara muslim.
“Kalau saya sih Cuma berharap yah, alhamdulilah Trump meski miring-miring komentarnya, alhamdulilah tidak ada perang. Tapi kalau Biden kita ga tau lagi apa kirim troops (tentara) lagi ke negara-negara muslim. Semoga sih enggak. Kalau saya sih plus minus-nya itu, yang saya khawatirkan muslim di seluruh dunia,” tutupnya.
Reporter: Affandi
Editor: Fauzan AS