MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Dalam penggalan QS. al-Baqarah ayat 235 dengan tegas dinyatakan bahwa Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati manusia, sehingga takutlah kepada-Nya. Allah mengawasi setiap perbuatan yang akan kita lakukan, bahkan sejak niat dalam hati dan pikiran. Hal ini menjadi petunjuk bahwasannya dalam laku aktivitas sehari-hari tidak diperkenankan bermain-main sesuatu yang buruk, baik kepada Allah maupun makhluk-Nya.
“Dalam pandangan al-Quran, tidak ada ruang bagi siapa pun di antara kita untuk bermain-main dengan sesiapa pun. Apakah itu bermain-main dengan Allah Swt, termasuk juga bermain-main dengan sesama kita makhluk Allah,” ujar Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Fathurrahman Kamal dalam Kajian Rutin Ahad Pagi Masjid IC UAD pada Ahad (28/02).
Dosa, terang Kamal, tidak semata-mata termanifestasikan oleh jasad secara lahiriyah, tetapi juga hati dan pikiran memiliki peran dalam menumpuk dosa. Sebab hati menjadi pijakan paling dasar sebelum seseorang melakukan perbuatan. Bila hati dan pikiran terisi dengan hal-hal yang negatif, maka akan terasa berat bagi tubuh untuk melakukan amal-amal kebajikan. Besarnya pengaruh hati pada kualitas seluruh jasad, berkali-kali Allah mengingatkan bahwa Dia mengawasi apa yang tersimpan di dalam hati (QS al-Ahzab: 51).
“Hasad, dengki, iri, merendahkan orang lain, meskipun tidak secara konkret kita wujudkan dalam bentuk fisik-lahiriyah, dan ada disimpan dalam diri kita, demi Allah saya katakan, Allah tahu apa yang ada dalam hati kita. Karenanya waspadalah pada pengawasan Allah,” tegas Kamal.
Dimensi al-qalb atau hati dibahas luas sekali oleh Hujjatul Islam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin. Imam Al-Ghazali mengibaratkan hati bagaikan raja yang ditaati atau penguasa yang diikuti. Sedangkan seluruh anggota tubuh yang lain adalah para bawahan dan prajurit yang harus tunduk dan patuh atas segala perintahnya. Apabila hatinya selalu tertaut dengan Allah Swt, maka segala laku aktivitasnya akan terus berada di jalan yang benar.
“Jadi kalau seseorang sudah larut dalam mengingat Allah Swt, apakah dia sedang bekerja atau rehat sejenak, Allah tidak pernah lepas dari paradigma hidupnya. Hanya Islam yang mengajarkan Allah diikutkan bahkan ketika kita masuk ke tempat kotor sekalipun harus ingat Allah,” ucap dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Namun apabila hatinya rusak, kata Kamal, sangat potensial seseorang menjadi “setan bisu”. Maksudnya, seseorang yang hanya berdiam diri saat kemaksiatan dan pagelaran dosa ditampakkan secara nyata. Keberpihakan pada yang benar harus dimulai dengan menata hati. Sebab hati merupakan bagian tubuh terpenting agar senantiasa dikontrol dan dibenahi. Al-Ghazali menyatakan bahwa hati menjadi ajang pertempuran antara dua kekuatan, baik dan buruk, yang bersumber dari akal dan hawa nafsu.