MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA– Sejak setelah kemerdekaan sampai sekitar tahun ‘90-an opini publik di Indonesia tentang filantropi masih rendah. Saat itu mereka masih melihat lembaga filantropi dengan sebelah mata.
Menurut Sudibyo Markus, Aktivis Kemanusiaan Internasional yang juga kader Muhamamdiyah ini menyebut, di tahun-tahun itu jika dirinya duduk dalam satu forum dan mengenakan identitas dari LSM atau Non Goverment Organization (NGO) dipandang sebelah mata dan tidak respect.
“Bahkan waktu ada forum itu terpisah sekali, jadi ada LSM atau organisasi sosial yang bergerak di bidang filantropi, sendiri, kecil itu di pojok. Lalu ada LSM di bidang developmental itu lebih keren. Mereka terkotak-kotak begitu saling menyelisihi satu dengan yang lain,” kenang Sudibyo Markus pada Ahad (20/2).
Tolak balik filantropi terjadi ketika terjadi bencana di Aceh. Kejadian itu menjadikan orang-orang sadar bahwa, filantropi tidak bisa disisihkan dan dianggap sebagai kegiatan kurang penting dari yang lain.
Berkaca dari bencana Tsunami di Aceh tahun 2006, ia semakin yakin bahwa relief atau filantropi adalah sebuah kebutuhan yang nyata untuk umat manusia. Dalam berjalannya waktu, saat ini filantropi masuk menjadi salah satu empat pilar dari sustainable development goals (SDGs).
“Jadi kita melihat bagaimana sekarang penghargaan kepada kegiatan yang disebut filantropi,” imbuhnya.
Pengakuan tersebut tidak bisa dilepaskan dari cepatnya adaptasi yang dilakukan lembaga-lembaga filantropi untuk mengembangkan jati diri dan profesionalisme. Terkait masalah filantropi, Muhammadiyah sudah bergerak lama dan tertua yang bukan hanya bergerak di lokal namun juga internasional.
Mengutip David C Korten, terkait dengan perkembangan pelayanan NGO dibagi menjadi empat tahap atau gelombang. NGO yang pertama adalah yang bergerak pada tahap relief (Bantuan)dan welfare (Kesejahteraan), kedua bergerak di Community Development (Pengembangan Masyarakat), ketiga Sustainable Systems Development (Pengembangan Sistem Berkelanjutan), dan keempat sudah mencakup gerakan di People Movements.
“Bagi Muhammadiyah praktis bergerak di keempat-empatnya, pada situasi tertentu, tempat tertentu. Ini perkembangan dari tahapan pelayanan dan Muhammadiyah bergerak di keempatnya,” urai Markus.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan filantropi terus mendapat pengakuan positif dari berbagai kalangan. Saat ini negara-negar dunia bahkan sudah memiliki lembaga filantropi masing-masing, di dunia saat ini juga sudah ada perkumpulan lembaga filantropi internasional.