Haryono Kapitan
Kader IMM
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Terkait regenerasi kepemimpinan di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah masih dapat dijumpai melalui forum-forum formal. Dalam menyongsong hajatan besar IMM yang tidak lama lagi akan berlangsung, bukan masanya lagi IMM berjibaku pada kepemimpinan tunggal.
Kecenderungan Baru
Selaras dengan saran Kuntowijoyo untuk kebangkitan dunia politik muslim, agaknya IMM sebagai entitas kaum muda muslim pun tidak lepas dari kritik yang disampaikan penulis Dinamika Sejarah Umat Islam tersebut. Kuntowijoyo mengatakan ada tiga pergolakan dalam kepemimpinan Islam yakni diversifikasi, desentralisasi, dan proliferasi. Keberhasilan gerakan kaum muslim di Indonesia bergantung pada cara mereka memakna tiga tren kekuasaan secara sosio-kultural tersebut.
Dalam hal diversifikasi kepemimpinan, IMM misalnya harus memperluas makna kepemimpinan dalam organisasi mencakup tugas-tugas pengembangan ilmu pengetahuan, kemanusiaan, lingkungan hidup, dan tata kelola kehidupan ekonomi-politik yang lebih baik. Jadi urusan kepemimpinan tidak selalu berhubungan dengan misi kekuasaan praktis. IMM harus bangkit dan tampil dalam memajukan misi-misi humaniora, literasi dan ekologi.
Poin berikut yang ditekankan Kuntowijoyo, yakni desentralisasi. Di Indonesia, pembayangan politik kaum muda muslim dalam konteks IMM, masih sangat sentralistik. Seolah-olah kenyataan politik hari ini masih sama dengan era 1970an. Maka bagi banyak aktivis IMM, mereka membayangkan suatu struktur yang sangat terpusat. Sehingga kurang sigap dalam merespon perubahan cara kerja kekuasaan dalam kehidupan kaum muda hari ini. Kaum muda sekarang menginginkan platform organisasi yang egaliter dalam pengelolaan, berbasis kerja intelektual, dan kompetisi positif dalam bidang inovasi aktivisme sosial.
Berikutnya yang terakhir, yakni proliferasi, dalam makna Muhammadiyah berarti kaderisasi. Seharusnya tidak ada lagi cerita bahwa IMM mengalami krisis kader karena organisasi ini tumbuh di kampus-kampus Muhammadiyah atau menjadi wadah bagi kelompok intelektual. Satu hal yang perlu dilakukan adalah merumuskan strategi proliferasi yang tepat. Tentu saja, syarat pertamanya adalah semakin inklusif dalam pemikiran dan paradigma intelektual.
Menimbang saran-saran Kuntowijoyo, IMM harus mulai mengarahkan energi positifnya untuk bidang-bidang kehidupan yang lebih luas. Adapun jika “dunia politik” yang selama ini menjadi momok perpercahan dalam Islam harus ditempuh, maka perlu ada perubahan persepsi menegnai “politik Islam.” Kuntowijoyo misalnya menyarankan supaya umat Islam bergeser secara politis untuk menekuni pengembangan sains dan ilmu-ilmu penting bagi dunia kontemporer.
Dalam hal ini, Kuntowijoyo menekankan tiga dimensi bagi pengembangan umat Islam, yakni dimensi ideologi dan ide. Selama ini, kebanyakan pergerakan umat Islam terutama dalam politik atau urusan kemasyarakatan hanya selalu berlandas pada problem-problem ideologis. Akhirnya terjebak membentuk sistem tertutup. Padahal, dunia terus berubah, artinya ide-ide mengenai politik, sosial, budaya, dan sains juga telah berkembang. Sehingga sikap-sikap umat muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tidak lagi bersifat ideologis, tapi fokus pada ide. Maksudnya begini, ketika bicara mengenai peran umat Islam untuk sains, kebanyakan kita menyebut nama-nama ilmuwan muslim pada abad-abad pertengahan. Pertanyaanya, kontribusi umat Islam sekarang apa? Oleh karena itu daripada apologis dengan konteks “ideologis” semacam itu, lebih baik berkontribusi secara nyata melalui pengembangan ide-ide.
IMM dan Tantangan Masa Depan
IMM harus punya proyek ilmuisasi organisasi, ideologi dan aktivismenya. Poin penting dari pemikiran Kuntowijoyo terkait perubahan internal umat muslim adalah memasyarakatkan ilmu pengetahuan. Sehingga dalam merespon problem-problem kontemporer tidak gamang. Ibaratnya tidak mengambil “perkakas tua” untuk menyelesaikan urusan yang jauh lebih rumit dan kompleks. “Perkakas tua” tadi masih berguna tapi sebagai inspirasi sekaligus sejarah bagi landasan penyelesaian masalah hari ini. Jadi bukan berarti ditinggalkan sama sekali. Sebagai contoh, tantangan umat muslim hari ini adalah ketimpangan sosial-ekonomi dan kerusakan lingkungan. Pemikiran cendekiawan muslim dekade 1970an tidak banyak yang mengantisipasi bahwa kedua problem ini saling terkait satu sama lain. Maka jika generasi intelektual hari ini masih bersandar pada pemikiran cendekiawan era itu tanpa pemikiran kritis dan transformatif, solusi yang dihasilkan pun akan absurd.
IMM harus merumuskan terus menerus “ide” mereka tentang realitas sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, sains, humaniora dan lingkungan hidup. Sudah saatnya IMM semakin solutif untuk gerbong intelektual muda muslim yang mengemban misi multidimensional.
Editor: Fauzan AS