MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Ketua MPKU PP Muhammadiyah Agus Syamsudin memandang getir terkait rencana pemerintah membuka kran kemudahan pendirian rumah sakit swasta di dalam perundang-undangan Omnibus Law.
Meski mengapresiasi niat positif pemerintah, Agus menyampaikan kegetirannya berdasarkan pertimbangan riil yang selama ini telah dihadapi rumah sakit non profit seperti RS Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.
“Saya memahami bahwa pemerintah tidak bisa berjalan sendiri, tapi ini swasta-nisasinya kencang sekali. Dengan RUU ini dampaknya apa?,” ungkap Agus dalam forum webinar Tim Serap Aspirasi Cipta Kerja, Senin (21/12).
Sebelum rancangan perundang-undangan ini disahkan, 18 November 2020 lalu misalnya pemerintah Indonesia menandatangani investasi perusahaan kesehatan asal Australia yang akan membangun rumah sakit swasta dengan nilai sebesar 14 triliun rupiah di Jawa Barat.
Agus khawatir beban Rumah Sakit non profit yang telah memberikan kemanfaatan luas pada umat seperti RS Muhammadiyah dan lainnya akan kolaps melawan investasi modal asing yang besar setelah perundang-undangan terkait izin investasi di bidang kesehatan disahkan.
“Nanti ada dari investor Amerika, Cina, dan lain-lain. Nanti apakah Rumah Sakit di Indonesia bisa menghadapi lawan yang modalnya lebih besar? Rumah sakit ini kan tumbuh modalnya komunitas. Karena itu saya ingin masukan, untuk pemodalan besar, investasi asing perlu dipertimbangkan kembali,” saran Agus.
Mengapa Rumah Sakit Muhammadiyah Getir Hadapi Swasta-nisasi?
Pemerintah berencana mereformasi sejumlah perizinan pembangunan rumah sakit swasta. Rencana tersebut tercantum pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dalam Undang-Undang Cipta Kerja Sektor Kesehatan Bidang Perumahsakitan.
Merujuk pada ketentuan UU no. 4 Tahun 2009, rumah sakit di Indonesia berdasarkan pengelolaannya dibedakan menjadi dua, yakni rumah sakit privat dan rumah sakit publik.
Rumah sakit privat adalah rumah sakit swasta yang secara legal (badan hukum) merupakan Perserotan Terbatas dan ditujukan untuk mencari laba.
Sementara itu rumah sakit publik adalah rumah sakit milik pemerintah atau pihak swasta yang secara legal (badan hukum) bersifat tidak mencari laba (non profit).
Dalam pengelolaannya, rumah sakit yang dimiliki oleh Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah adalah rumah sakit non-profit (nirlaba) yang tidak mencari keuntungan. Seluruh laba yang didapatkan dari aktivitasnya, diputar kembali untuk operasional rumah sakit dan pelayanan pasien.
“Muhammadiyah modalnya adalah tujuan sosial sejak 1923. 90 persen rumah sakit Muhammadiyah tumbuh dari klinik kesehatan dan bersalin. Tumbuh pelan-pelan, tidak ada milik pribadi. Pengoperasiannya wilayah. Tidak ada dividen. Uangnya dikembalikan lagi untuk pengembangan rumah sakit itu sendiri dalam mengoptimalkan membantu masyarakat miskin,” urai Agus.
Meski rumah sakit Muhammadiyah merupakan bentuk pelayanan publik yang murni tidak mengejar keuntungan (non-profit), pemerintah tetap menetapkan untuk menarik pajak operasional.
Menariknya, rumah sakit pemerintah yang memiliki definisi sama dalam UU no. 4 Tahun 2009 terkait pengelolaan berorientasi nirlaba justru tidak terkena pajak.
“Ini kami menilai ada diskriminasi yang sudah bertahun-tahun kami terima. Jangankan insentif yang tidak ada, kami juga dikejar-kejar pajak,” imbuh Wakil Ketua MPKU PP Muhammadiyah Slamet Budiarto menimpali.
Pertumbuhan Rumah Sakit Non Profit
Data dari 2012 hingga 2018, Agus menyampaikan bahwa pertumbuhan rumah sakit non-profit di Indonesia turun drastis meski pertumbuhan rumah sakit swasta naik hingga 150 persen.
Tren investasi di bidang kesehatan ini menurut Agus perlu dicermati oleh pemerintah agar hak masyarakat untuk mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan yang selama ini kurang memadai dari pemerintah tidak semakin buruk karena perundang-undangan yang mematikan rumah sakit publik non-profit.
Agus menjelaskan hingga saat ini 82 rumah sakit milik Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah dari Sumatera Barat hingga Nusa Tenggara Timur berjibaku melawan Covid, sementara pada waktu yang sama menurutnya ada sekian rumah sakit swasta yang enggan mengambil bagian dalam kerja kemanusiaan melawan pandemi.
“Jadi inilah yang sudah kami kontribusikan dan mudah-mudahan ini menjadi pertimbangan karena dari sisi jumlah rumah sakit, sekali lagi tidak ada untuk kepentingan pribadi, tapi untuk kepentingan masyarakat,” tutupnya. (afn)