MUHAMMADIYAH.ID, SURABAYA – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah merasa senang dengan perayaan Milad Muhammadiyah ke-108 yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur (PWM Jatim) pada Sabtu (21/11). Dalam perayaan tersebut, PWM Jatim melakukan launching buku sekaligus penyerahan satu unit mobil dari Universitas Muhammadiyah Surabaya kepada Aisyiyah.
“Saya merasa senang serta selamat karena acara ini juga ditandai oleh menu utama yang biasa dilakukan oleh PWM Jatim yakni launching dan penyerahan buku sebagai bagian yang sangat penting dan penanda dari kemajuan pemikiran dan gerakan Muhammadiyah di Jatim. Bahkan lebih lengkap lagi tadi ada penyerahan mobil dari UMSurabaya untuk Aisyiyah. Jadi ada ilmunya tapi juga ada maal-nya,” tutur Haedar saat memberikan sambutan pada acara tersebut.
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menuturkan perayaan Milad Muhammadiyah ke-108 yang dilakukan PWM Jatim menggambarkan sifat Muhammadiyah yang berkecukupan lagi berkemajuan. Akan tetapi Haedar menyadari bahwa tidak semua pemikiran Muhammadiyah dapat diterima sebagian kalangan, terlebih dalam kasus Covid-19.
Ketika PP Muhammadiyah melakukan ijtihad dengan ikhtiar yang bersungguh-sungguh menawarkan gagasan keagamaan yang selaras dengan kondisi darurat pandemi Covid-19, tidak sedikit yang mengabaikan fatwa-fatwa tersebut. Pandangan mereka terlalu bias normal sehingga menganggap remeh persoalan wabah ini.
“Tarjih yang mencoba mengambil langkah-langkah yang tawasut-tawazun, yang mencoba tengahan, itu saja ada yang tidak memahami dan tidak mengikutinya di sebagian kita. Kenapa? Karena boleh jadi bahwa melihat persoalan ini hanya semata-mata dalam konteks yang normal tidak dalam konteks yang abnormal,” terangnya.
Merawat Karakter Keagamaan Muhammadiyah
Fokus Muhammadiyah pada persoalan Covid-19 merupakan satu upaya bahwa agama mampu menjadi solusi. Karakter Muhammadiyah yang senantiasa mencari titik solusional atas sebuah peristiwa merupakan ciri khas dari gerakan tajdid. Haedar menuturkan bahwa aktivitas tajdid sejak awal telah dilakukan pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan. Dari gerakan tajdid Dahlan inilah yang melahirkan karakter modernis-reformis dalam tubuh Muhammadiyah.
“Dan ini sebagai gerakan dakwah dan tajdid, sebagai hasil dari pesan dan keputusan PP, yakni berkarakter tajdid, berkarakter modernis, dan berkarakter reformis. Prof Achmad Jainuri bahkan sudah menghasilkan disertasi untuk karakter ini, yang mungkin karena sudah lama dan itu perlu kita baca ulang,” ajaknya.
Para peneliti luar maupun dalam negeri yang mengupas hal-ihwal Muhammadiyah selalu melabeli gerakan ini sebagai gerakan modernis dan reformis. Haedar menyebut hal itu sebagai sesuatu yang luarbiasa lantaran pada awal abad ke-20, dakwah keagamaan masih terbebani dengan tradisionalisme yang kaku dan konservatisme yang absolut. Semangat rasionalisasi inilah telah mendorong Muhammadiyah untuk melakukan pelbagai demistifikasi dan demitologisasi untuk mencerahkan anak bangsa.
“Dan saat itu merupakan sesuatu yang luar biasa yang orang selalu mengaitkannya dalam konteks tradisionalisme, konservatisme dan lain sebagainya. Barulah kemudian lahir reformisme lahir modernisme,” jelasnya.
Bagi Haedar, karakter keagamaan Muhammadiyah yang berdimensi modernis sekaligus reformis ini mesti dirawat. Bila perlu ke depan itu menjadi usaha untuk generasi baru, boleh jadi untuk reformulasi menjadi lebih maju lagi dan lebih berkemajuan lagi.
“Persoalannya apakah kita para anggota, kader dan pimpinan Muhammadiyah bisa merawat nilai-nilai dakwah dan berkarakter modern dan reformis itu. Atau justru kita sudah mulai kehilangan dari ketajdidan, kereformisan dan kemodernan. Tentu karena kita gerakan Islam maka kemodernan kereformisan itu menjadi landasan dan berlandaskan pada Islam,” tuturnya. (ilham)