MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA—Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah sebagai implementasi praksis dari nilai-nilai agama Islam yang dipedomani Muhammadiyah memiliki sasran gerak inklusi. Kehadirannya menjadi bagian yang memberi konribusi-solusi, bukan ‘memperuwet’ keadaan.
Menurut Ketua MPM PP Muhammadiyah, M Nurul Yamien, tema Milad Muhammadiyah yang ke-108 M dapat ditarik dua makna, makna penguatan kedalam dan keluar. Pertama, bahwa gerakan pemberdayaan masyarakat merupakan implementasi ajaran agama yang dalam praksisnya harus menjadi basis gerakan yang semakin kokoh.
Kedua, dampak terjadinya pandemic covid-19 begitu luas dan menjadi bagian dari permasalahan yang harus diselesaikan oleh bangsa dan Negara Indonesia, selain persoalan kebangsaan lain yang masih terus mendera.
“Dalam konteks ini maka tema Milad 108 Tahun Muhammadiyah menemukan momentumnya yang tepat sekali.” Katanya saat dimintai keterangan oleh reporter muhammadiyah.id pada Sabtu (21/11).
Yamien mengakui, meskipun semua persoalan saat ini seharusnya menjadi tanggungjawab Negara atas rakyatnya, akan tetapi karena kesadaran dan panggilan ajaran Agama Islam, Muhammadiyah ikut hadir menjadi bagian yang memberikan kontribusi-solusi atas masalah negeri yang kompleks tersebut.
Sebagai majelis yang ditugasi mengentaskan masalah kemasyarakatan, kaum dhuafa-mustadhafin atau marjinal, keberadaan MPM ditengah karut-marut masalah negeri memiliki peran penting. Terlebih dimasa pendemi yang berdampak pada bertambahnya kelompok dhuafa-mustadhafin, angka mereka semakin bertambah baik di desa maupun di kota.
Lahir dari rahim kesadaran teologi Islam untuk memerdekakan manusia dari keterteindasan, pemberdayaan yang dilakukan oleh MPM memiliki jiwa inklusi. Yamien menjelaskan, inklusi yang dimaksud adalah pemberdayaan yang dilakukan oleh MPM tidak membedakan latar belakang agama, suku, dan ras.
Dengan metode pendekatan yang inklusif inilah gerakan pemberdayaan MPM dapat diterima di kalangan masyarakat luas, bahkan lintas agama. Kesadaran terhadap pluralitas ini menjadi penting, sehingga identitas yang melekat bukan dijadikan sebagai hijab-pembatas dalam melakukan gerakan islah bagi kemanusiaan universal.
“Sekedar contoh saja MPM hadir di tengah masyarakat suku dayak di Desa Baturajang, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, serta di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur. Hal ini tentu berkontribusi dalam peneguhan persatuan Indonesia,” tutur Yamien.
Sebagaimana diketahui, fokus utama gerekan pemberdayaan masyarakat MPM adalah kelompok miskin. Kantung-kantung kemiskinan di negeri ini dalam struktur masyarakat terdapat pada kelompok masyarakat yang mengantungkan hidupnya dari sektor pertanian dan nelayan, serta kantung kemiskinan yang terdapat pada masyarakat miskin kota, disabilitas, dan daerah 3T.
Perlu menjadi kesadaran umum, kemiskinan yang dialami oleh kelompok-kelompok tersebut selain disebabkan karena faktor internal, juga karena faktor eksternal yakni ketertindasan yang disebabkan karena structural. Di mana struktur yang mengikat suatu populasi pada wilayah tertentu turut melanggengkan ketertindasan.
Indonesia sebagai bangsa yang dianugerahi dengan berbagai ragam etnis, budaya, dan agama. Realitas tersebut disamping sebagai mozaik kebangsaan yang kaya, keragaman juga menyimpan pontensi menjadi sumbu pemicu perpecahan. Karenanya harus difikirkan dengan seksama pontensi keragaman yang dimiliki, untuk dikelolah dengan baik.
Maka, tutup Yamien, pemberdayaan selain diorientasikan untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pendapatan, pemberdayaan yang dilakukan oleh MPM juga sebagai perekat sekaligus perajut kesatuan dan keberagaman warga-bangsa.