Diantara kita mungkin pernah mendengar mengenai waktu-waktu dimana kita dilarang untuk melakasanakan shalat dalam waktu-waktu tersebut, bahkan hal tersebut termaktub dalam hadits. Kemudian bagaimana dengan shalat-shalat yang telah disunnahkan untuk melaksanakannya seperti shalat tahiyatul masjid, shalat syuruq, dan lain sebagainya. Bagaimana Muhammadiyah menyikapi akan hal tersebut? Berikut penjelasannya. Islam mengajarkan supaya umat Islam mendirikan shalat, baik yang fardhu maupun yang sunnah, pada waktu-waktu yang telah ditetapkan. Allah berfirman:
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا ]النسآء، 4 : ١٠٣ ]
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [QS. an-Nisa (4): 103].
Selain itu, Islam juga mengajarkan supaya umat Islam tidak mendirikan shalat pada waktu-waktu tertentu, karena hikmah dan argumentasi yang terkadang tidak diketahui. Semua itu sebagai ujian ketaatan kepada Allah. Waktu-waktu yang dilarang mendirikan shalat ada lima, yaitu:
1. Waktu setelah shalat Subuh sampai terbit matahari.
2. Waktu terbit matahari sampai naik sekitar satu anak panah.
3. Waktu matahari tepat di atas kepala sampai waktu shalat Dzuhur.
4. Waktu matahari berwarna kekuningan hingga terbenamnya matahari.
5. Waktu setelah shalat Ashar sampai terbenamnya matahari.
Waktu nomor 1 dan 5 dilarang shalat berdasarkan kepada hadis:
Dari Abu Said al-Khudri [diriwayatkan] ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Tidak boleh shalat setelah subuh sampai matahari naik (sedikit), dan tidak boleh shalat setelah Ashar sampai matahari menghilang (tidak tampak/terbenam) [HR. al-Bukhari dan Muslim dan lafal hadis ini milik al-Bukhari].
Waktu nomor 2, 3 dan 4 dilarang shalat berdasarkan kepada hadis:
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani [diriwayatkan] ia berkata: Tiga waktu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami untuk shalat dan menguburkan orang yang mati di kalangan kami pada waktu-waktu tersebut: Ketika matahari terbit sampai naik (sedikit), ketika matahari berada di kulminasi (titik tertinggi) sampai tergelincir, dan ketika matahari condong untuk terbenam sampai terbenam [HR. Muslim].
Apabila direnungkan, lima waktu yang dilarang shalat tersebut bisa dirangkum menjadi tiga waktu seperti berikut:
1. Waktu setelah shalat Subuh sampai matahari naik sekitar satu anak panah (2,5 meter, yaitu sekitar 15 menit dari terbit matahari).
2. Waktu matahari tepat di atas kepala sampai waktu shalat Dzuhur.
3. Waktu setelah shalat Ashar sampai terbenamnya matahari.
Namun perlu dijelaskan di sini bahwa shalat yang dilarang pada waktu-waktu di atas bukan semua shalat, tetapi shalat yang dilarang adalah shalat rawatib setelah Subuh dan Ashar serta shalat sunnah tanpa sebab. Shalat sunnah tanpa sebab adalah shalat sunnah mutlak, yaitu shalat yang didirikan tanpa sebab apapun selain mendekatkan diri kepada Allah.
Adapun shalat fardhu lima waktu yang tertinggal, demikian pula shalat-shalat sunnah yang tertinggal, maka shalat-shalat tersebut boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang seperti di atas. Setelah shalat Ashar didirikan umpamanya, apabila ada orang yang belum shalat Zhuhur
karena lupa atau tertidur maka ia harus segera shalat Zhuhur ketika mengingatnya, meskipun saat itu adalah waktu terlarang.
Dalilnya adalah hadis berikut:
Dari Anas bin Malik [diriwayatkan] ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa lupa shalat atau tertidur darinya, maka kaffaratnya (tebusannya) ialah hendaknya ia mendirikan shalat tersebut apabila ia mengingatnya [HR. al-Bukhari dan Muslim dan lafal hadis ini milik Muslim].
Dan hadis berikut:
Dari Qais kakek Sa’ad [diriwayatkan] bahwa ia shalat Subuh bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia bangun lagi shalat dua rakaat, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: Apakah dua rakaat ini? Ia menjawab: Wahai Rasulullah, itu adalah shalat sunnah fajar dua rakaat yang tadi belum sempat aku mendirikannya, maka dua rakaat itu yaitu tadi. Ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendiamkannya [HR. Ibnu Khuzaimah].
Demikian pula shalat-shalat sunnah yang ada sebabnya, itu semua boleh dikerjakan pada waktu-waktu terlarang. Contoh shalat-shalat sunnah yang ada sebabnya adalah shalat sunnah wudu, shalat sunnah safar, shalat sunnah tahiyyatul masjid, shalat sunnah setelah tawaf, shalat sunnah kusuf (gerhana matahari), shalat sunnah istisqa‘ (minta hujan), termasuk shalat jenazah yang hukumnya fardhu kifayah. Apabila ada orang masuk masjid setelah waktu shalat Ashar misalnya, maka ia boleh shalat sunnah tahiyyatul masjid. Apabila ada orang mau safar atau bepergian saat matahari tepat di atas kepala, ia boleh shalat sunnah safar pada waktu terlarang tersebut karena ada sebabnya.
Dalilnya adalah hadis berikut:
Dari Ummu Salamah [diriwayatkan]: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dua rakaat setelah Ashar, dan beliau bersabda: Orang-orang dari (kabilah) Abdul Qais telah menyibukkanku dari shalat dua rakaat tersebut setelah Zhuhur [HR. al-Bukhari]. Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sunnah dua rakaaat pada waktu terlarang yaitu setelah shalat Ashar. Namun beliau melakukannya karena ada sebab yaitu karena sibuk melayani umatnya. Dalil lain yang membolehkan shalat pada waktu-waktu terlarang:
Dari Jubair bin Muth’im [diriwayatkan] bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Hai Bani Abdu Manaf, janganlah kalian melarang seseorang tawaf di Ka’bah ini dan shalat waktu kapanpun ia berkehendak, baik malam atau siang [HR. para pengarang Sunan dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan at-Tirmidzi). Hadis ini menunjukkan bolehnya atau bahkan sunnahnya shalat sunnah tawaf kapan saja, baik waktu siang maupun malam, waktu terlarang maupun bukan waktu terlarang.
Dalil lainnya:
Dari Abu Hurairah [diriwayatkan] ia berkata: Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Bilal tatkala shalat Subuh: Hai Bilal ceritakan kepadaku amalan yang telah kamu kerjakan yang paling kamu harapkan manfaatnya di dalam Islam, karena sungguh aku
mendengar suara kedua sandalmu malam ini di hadapanku di dalam surga. Bilal menjawab: Wahai Rasulullah, saya tidak mengetahui amalan di dalam Islam yang lebih saya harapkan lebih dari bahwa saya tidak bersuci dengan sempurna baik pada waktu malam maupun siang melainkan saya shalat karenanya untuk Tuhanku seberapa banyak yang telah ditentukan untukku bershalat [HR. Ibnu Khuzaimah].
Hadis ini menunjukkan disunnahkannya shalat sunnah wudu pada waktu siang maupun malam, baik waktu terlarang maupun bukan. Adapun shalat jenazah tidak terlarang dilakukan di waktu ini (sebagaimana terdapat pada hadis ‘Uqbah bin ‘Amir di atas). Makna hadis tersebut adalah seseorang dengan sengaja mengakhirkan waktu pemakaman sampai waktu terlarang tersebut, sebagaimana larangan mengakhirkan shalat Ashar sampai matahari menguning tanpa ada alasan yang dibenarkan. Namun jika pada saat pemakaman sudah masuk pada tiga waktu larangan ini, di luar kesengajaan, maka tidak ada masalah. Dari keterangan serta hadis-hadis di atas dan hadis-hadis lainnya dapat disimpulkan bahwa tidak ada halangan untuk mendirikan shalat fardhu dan shalat sunnah yang ada sebabnya pada lima waktu yang dilarang shalat di dalamnya. Wallahu a‘lam bish-shawab.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No.15, 2018
Hits: 6019