MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Kurun abad ke-19 dan 20 menjadi penanda kesadaran masyarakat dunia ketiga terhadap kolonialisme dan nasionalisme. Di kawasan Timur Tengah, momentum ini ikut menjadi salah satu sebab berdirinya negara-negara baru, di samping karena pengaruh kekuasaan Ottoman yang semakin melemah.
Di wilayah Syam (Lebanon, Yordania, Suriah, Palestina), entitas negara baru terwujud secara sah dalam bingkai hukum internasional pada tahun 1943 (Lebanon), 1946 (Yordania dan Suriah), dan terakhir Palestina pada 1948 (versi lainnya menyebut tahun 1988).
Sebelum berdirinya negara bangsa, Palestina merupakan wilayah suci sekaligus melting pot bagi tiga agama Samawi: Yahudi, Kristen, dan Islam. Sebelum kelompok Zionis menjajah, perkembangan wilayah Palestina terekam pada kartografi sejak abad ke-2 Masehi.
Relasi harmonis antara umat Yahudi, Kristen, dan Islam di Palestina mulai teruji ketika ideologi Zionisme lahir. Muhammad Harb dalam bukunya Memoar Sultan Abdul Hamid II (2012) mencatat jika Khalifah Ottoman, Sultan Abdul Hamid II pada tahun 1886 dan 1902 menolak negosiasi ideolog Zionis, Theodore Herzl untuk memberikan penguasaan sebagian wilayah Palestina kepada bangsa Yahudi.
Namun, berbagai upaya terstruktur Zionis terus berjalan hingga ujungnya ketika terjadi imigrasi besar-besaran 60.000 lebih orang Yahudi Jerman ke Palestina selama tahun 1930-an berdasarkan Perjanjian Haavara.
Kongres Islam Dunia 1931: Respon Kekhawatiran Umat Islam Atas Zionisme

Dimulai dari Perjanjian Sykes-Picot dan Deklarasi Balfour 1917, upaya provokatif merebut tanah Palestina dan mewujudkan kekuasaan Zionis mulai mengubah relasi harmonis antara umat Islam dan umat Yahudi. Dua perjanjian ini juga segera mengubah peta geopolitik Timur Tengah.
Setelah keluarnya Sykes-Picot, negara-negara Arab berpecah. Deklarasi Balfour memulai fase imigrasi besar-besaran kaum Yahudi dari Eropa untuk melakukan berbagai provokasi dan merebut tanah-tanah milik rakyat Palestina.
Sebagai respon, umat Islam pun kemudian menggelar Kongres Islam Dunia di Yerusalem pada Desember 1931. Dihadiri 130 delegasi dari 22 negara muslim di dunia, kongres merupakan perintah dari Mufti Agung Yerusalem, Mohammad Amin al-Husayni dan pemimpin Komite Kekhalifahan India, Maulana Shaukat Ali.
Untuk diketahui, Amin al-Husayni merupakan sosok yang di masa mendatang, tepatnya pada tahun 1944 menyatakan dukungan terhadap upaya Indonesia meraih kemerdekaan dalam siaran radio internasional di Jerman.
Amin al-Husayni yang terpilih menjadi presiden Kongres menyusun beberapa agenda pembahasan, antara lain; Tempat Suci dan tembok Buraq, Universitas Al Aqsa sebagai pusat keilmuan Islam, kereta api Hijaz, peradaban Islam, media massa Islam, pembentukan konstitusi kongres muslim, pengadaan kongres secara berkala selama dua atau tiga tahun sekali, hingga seruan boikot terhadap umat Yahudi Zionis.
Tokoh Muhammadiyah, Abdul Kahar Muzakkir Pimpin Delegasi Umat Islam Asia Tenggara
Dalam kongres ini, tokoh Muhammadiyah, Abdul Kahar Muzakkir ikut berperan sentral. Kedatangannya terwujud berkat permintaan langsung Mufti Palestina, Mohammad Amin al-Husayni.
Abdul Kahar Muzakkir diminta datang karena selama menjadi mahasiswa Al-Azhar pada 1925, dirinya memiliki popularitas yang besar di dunia Islam karena keaktifannya menyuarakan semangat anti penjajahan dan upaya kemerdekaan bagi Indonesia dan Malaysia di berbagai surat kabar Mesir seperti al-Ahram, al-Balagh, dan al-Hayat.
Abdul Kahar Muzakkir yang saat itu berusia 24 tahun kemudian menjadi ketua perwakilan umat Islam dari Asia Tenggara. Dia didampingi sahabat perjuangannya dari Malaysia, Abubakar Al-Asy’ari. Abdul Kahar Mudzakkir juga tepilih sebagai sekretaris (katib) pada kongres tersebut.
Kesempatan strategis menjadi katib digunakannya untuk memperkenalkan perjuangan Indonesia kepada dunia Islam. Lukman Hakiem dalam bukunya Dari Panggung Sejarah Bangsa: Belajar dari Tokoh dan Peristiwa (2020) mengutip pernyataan H.M Rasjidi bahwa aktivitas Kahar Muzakkir telah membentuk simpati masyarakat Timur Tengah terhadap kemerdekaan Indonesia. Aktivitas Kahar Muzakkir juga dinilai mempermudah delegasi Indonesia untuk memperoleh pengakuan kemerdekaan dari Mesir pada 22 Maret 1946.
Hasil Kongres Umat Islam 1931: Soroti Kolonialisme dan Zionisme
Berlangsung selama dua minggu, Kongres memutuskan untuk memilih komite eksekutif dan mengusulkan pembentukan cabang di seluruh dunia Muslim. Kongres ini menjadi cikal bakal lahirnya World Moslem Conference atau Muktamar al-’Alam al-Islamy yang secara formal dicetuskan dalam muktamar kedua di Karachi, Pakistan pada 19–20 Februari 1951 dengan kehadiran 40 negara.
Kongres Umat Islam 1931 juga menegaskan kesucian masjid Al-Aqsa (termasuk tembok Buraq) dan pentingnya Palestina bagi seluruh umat Islam, rencana pendirian perusahaan tanah Islam untuk mencegah Zionis membeli tanah di Palestina serta kecaman bagi imperialisme Barat di negara-negara Muslim.
“Zionisme secara ipso facto adalah sebuah agresi yang merugikan kesejahteraan umat Islam, dan secara langsung atau tidak langsung mengusir umat Islam dari kendali atas tanah umat Islam dan Tempat Suci umat Islam”.
Meski masalah Zionisme telah menjadi keputusan Kongres, namun upaya dunia Islam dalam mencegah Zionisme terbilang gagal. Bangsa Palestina terus mengalami penjajahan dan berubah porsi dari mayoritas menjadi minoritas akibat pembantaian terstruktur sejak Nakba (1948), Shabra dan Shatila (1982), dan Gaza (2007, 2021) hingga tragedi genosida yang terjadi Pasca 7 Oktober 2023. (afn)
Hits: 1073