MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA—Dibandingkan dengan Negara-negara Islam lain seperti yang berada di kawasan Timur Tengah, yang membentang dari Jazirah Arab sampai dengan Afrika, umat muslim Indonesia harus bersyukur karena bisa hidup damai.
Bahkan menurut Prof. Azyumardi Azra, Cendekiawan Muslim sekaligus Anggota Konsultan Ahli Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, gambaran surga dalam Al Qur’an lebih mirip dengan kondisi alam Indonesia.
“Di mana air sungai gemercik mengalir, ada rumput, dedaunan, pepohonan yang menghijau, terhampar itu semuanya di Indonesia. Jadi gambaran surga itu adalah Indonesia,” tuturnya pada (4/3) di acara Menyambut Buku Karsa untuk Bangsa, 66 Tahun Azyumardi Azra, CBE.
Oleh karena itu, Guru Besar Sejarah Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini mengajak kepada semua untuk senantiasa menjaga Indonesia jangan sampai rusak, seperti di Negara-negara muslim lain. Rasa syukur bisa diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku untuk menjaga Indonesia.
Melihat keindahan Indonesia menjadi concern Prof. Azra dalam menumbuhkan kebanggan, kecintaan pada Indonesia dengan segala keragaman, pluralitasnya, dan sistem demokrasinya. Namun demikian ia tidak menutup mata pada sistem demokrasi Indonesia masih memiliki PR di sana-sini.
“Saya tetap percaya bahwa demokrasi lah pilihan terbaik bagi kita, dan oleh karena itu demokrasi harus kita jaga dan juga kita konsolidasikan terus menerus,” tuturnya.
Karena melihat masih banyak PR yang harus diselesaikan dalam konteks demokrasi di Indonesia, Prof. Azra mengaku agak keras dalam kritiknya terhadap pemerintah, dan itu memang tugas seorang cendekiawan.
Dalam usaha menjaga Indonesia dan keindonesiaan dengan mensenyawakan keislaman, perlu adanya pengarusutamaan pendidikan Islam. Menurutnya, Islam tidak boleh ditarik pada ekstrem kiri maupun kanan, melainkan Islam harus diletakkan di tengah sebagai solusi dan penyeimbang atas realitas sosial.
Prof. Azra menegaskan bahwa pendidikan Islam di Indonesia tidak boleh hanya berpikir secara doktrinal dan teologis semata, tapi harus kosmopolit. Serta tidak boleh anti atau dikotomis terhadap ilmu pengetahuan, jadi tidak boleh pembelajar maupun yang ingin menjadi intelektual muslim masih dikotomis terhadap ilmu.
“Memang ini jadi obsesi saya, memang bahwa memulihkan harkat dan martabat, mentalitas orang Islam karena masih banyak orang Islam Indonesia itu saya mengkritiknya secara keras, memiliki mentalitas pecundang”. Tuturnya.
Hits: 23