MUHAMMADIYAH.OR.ID, SLEMAN — Dalam waktu 14 tahun terakhir, lembaga pendidikan agama atau pesantren milik Muhammadiyah bertransformasi. Salah satu tandanya adalah adanya perubahan nama dari pondok pesantren menjadi Muhammadiyah Boarding School (MBS).
Tonggak pertama pendirian MBS terjadi pada 2008 dengan didirikannya MBS Bokoharjo, Prambanan, Yogyakarta. Transformasi ini menurut Busyro Muqoddas saat ini sedang massif terjadi di banyak provinsi di Indonesia.
Keberadaan MBS bukan hanya sebagai pusat pendidikan Agama Islam, tetapi juga tempat pengkaderan, dan juga penguatan ekonomi. Transformasi dari pesantren ke MBS, juga dapat disaksikan dari bentuk gedung-gedung yang lebih tertata rapi, futuristik dan modern.
“Dalam bidang ekonomi, MBS di Prambanan ini juga memiliki unit usaha yang cukup banyak,” ucapnya pada, Senin (24/10) di Pondok Pesantren Muhammadiyah Boarding School (PPM MBS) Bokoharjo Prambanan Yogyakarta.
Bentuk lain dari transformasi ini, imbuhnya, lembaga pendidikan agama menjadi semakin inklusif, peserta didik atau santri tidak berjarak dengan masyarakat. Termasuk dalam urusan pengembangan ekonomi, MBS juga bekerjasama dengan masyarakat sekitarnya.
“Prosesnya melibatkan masyarakat setempat, jadi ada dampak lingkungan yang positif. Inilah yang orang lain menyebut dengan gerakan untuk mengangkat derajat orang-orang yang berada di bawah rata-rata di antara kita,” tuturnya.
Transformasi ini diharapkan mampu meneruskan estafet perjuangan yang telah dipelopori oleh pendahulu Muhammadiyah, di mana pahlawan yang berasal dari Muhammadiyah tersebut merupakan santri-santri produk pengkaderan di persyarikatan.
Busyro menyebutkan, ada Ki Bagus Hadikusumo, Kahar Mudzakir, Jendral Besar Sudirman dan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang lain, termasuk Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan adalah sosok pelopor perjuangan dalam membentuk Indonesia.
“Dengan jiwa dan raganya mereka ini sehingga terbentuk Negara Republik Indonesia sekarang ini,” imbuhnya.
Dia berharap, MBS atau pesantren Muhammadiyah yang ada saat ini supaya senantiasa sejalan dengan semangat yang telah dijalankan oleh Muhammadiyah, yaitu semangat ta’awun atau tolong-menolong.
Menurutnya, lembaga pendidikan Muhammadiyah bisa berkolaborasi dengan siapa saja dengan landasan prinsip ta’awun untuk menegakkan kebajikan dan mencegah kemungkaran di berbagai bidang. Semangat ini diharapkan bisa mengangkat martabat bangsa Indonesia.
“Sehingga martabat kemanusiaan bangsa Indonesia tetap terjaga sekarang maupun yang akan datang,” harap Busyro.