MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak masih menjadi PR yang belum beres. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti menyebut telah terjadi laporan resmi 12 kasus kekerasan seksual sepanjang Januari-Juli 2022.
Sementara itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menyebut ada 2.363 kasus kekerasan seksual pada 2021. Artinya, yang tidak terlapor dipastikan jauh lebih banyak.
Di tengah krisis moral di atas, ternyata konten-konten di media sosial yang vulgar, melanggar batas tabu, dan menampilkan percakapan seksual-dewasa justru bertebaran dan paling banyak diminati. Padahal secara mental, menurut mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Suyanto konten-konten yang dijuluki ‘pemersatu bangsa’ tersebut justru menyuburkan tindak kekerasan dan pelecehan seksual.
“Satu tahun itu ada yang (tayangannya) 40 juta. Dan mereka di situ mengklaim sebagai pemersatu bangsa. Jadi bangsa ini disatukan dengan konten-konten yang vulgar. Nah itu saya kira merupakan PR kita bersama,” ucapnya prihatin.
Dalam Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jumat petang (16/9), Prof. Suyanto menyebut jangkauan konten vulgar tersebut banyak ditonton oleh anak-anak usia belum dewasa. Apalagi konten-konten tersebut mengandaikan lawan jenis hanya sebagai objek seksual sehingga menghilangkan sikap respek terhadap manusia lainnya.
“Jadi kontennya sangat berimajinasi pada anak-anak. Karena cerita soal relasi pria-wanita, suami-istri, orang dewasa yang dipaparkan ke ruang publik tanpa basa-basi. Tentu saja anak-anak suka karena disuguhi imajinasi yang luar biasa. Maka ini bisa memicu perilaku mereka menyimpang sehingga bisa membuly, melakukan kekerasan seksual dan lain-lain karena mereka belum saatnya punya stimulus yang sangat halusinatif dan eksploitatif terhadap anak-anak dilihat dari umurnya,” terang Suyanto.
Karena itu, dia berharap Pemerintah maupun lembaga non-pemerintah memikirkan strategi untuk menjawab fenomena konten-konten ‘pemersatu bangsa’ ini. “Banyak konten di sekitar kita yang jadi predator pendidikan karakter. Di youtube banyak konten-konten yang tidak mendidik tapi tidak ada regulasinya. Hal ini yang perlu kita teriakkan supaya negara hadir di situ,” dorong Suyanto. (afn)