MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Hizbul Wathan gerakan kepanduan Muhammadiyah pada periode paling awal diwarnai oleh Dua Sarbini.
Mereka adalah Syarbini dan H.M. Sarbini. Dua orang ini juga turut menjadi pejuang kemerdekaan.
Sarbini pertama merupakan murid Kiai Ahmad Dahlan yang mengajarkan kurikulum pertama Hizbul Wathan, sedangkan Syarbini kedua adalah anggota Hizbul Wathan yang kelak menjadi tangan kanan Presiden Soekarno.
Syarbini, Perintis Hizbul Wathan
H. Mawardi dalam Kenang-Kenangan Hizbul Wathan (1961) menulis bahwa Syarbini adalah pemuda yang keluar dari jabatan onder-officer dinas kemiliteran Belanda pada tahun 1915.
Status dirinya sebagai bekas tentara Belanda menyebabkan Syarbini sulit diterima di masyarakat. Untuk memulihkan namanya, Syarbini lantas menyerahkan diri kepada Kiai Ahmad Dahlan sebagai seorang murid untuk mempelajari Islam. Demikian tercatat dalam Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, Ir. Soekarno dan K.H. Ahmad Dahlan (1999).
Sebagai santri, Syarbini bertempat tinggal di langgar, di muka rumah Kyai Dahlan. Selain itu, Syarbini menjadi guru Muhammadiyah di sekolah Muhammadiyah Bausasran dan mengajarkan baris-berbaris serta latihan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK) setiap Ahad sore di sekitar Kauman bagi kelompok anak-anak dan kelompok dewasa.
“Pemuda Sarbini pandai baris-berbaris, pandai memukul genderang, berkemah dan juga menunggang kuda. Semua kegiatan itu amat penting bagi perkembangan kepanduan Hizbul Wathan,” tulis Sutrisno Kutoyo dalam Kiai Haji Ahmad Dahlan (1985).
Karena gerakan baris berbaris yang dinamakan Padvinder Muhammadiyah makin populer, Hoofdbestuur (pengurus pusat) Muhammadiyah menyerahkan kepada Muhammadiyah bagian sekolahan.
Lalu dibentuklah pengurusnya yakni Ketua H Muchtar, Wakil Ketua oleh Raden Hadjid, Sekretaris oleh Somodirdjo, Keuangan oleh Abdul Hamid, Organisasi oleh Siradj Dahlan, dan bagian Komando oleh Syarbini dan Damiri.
Tentang nama, Raden H. Hadjid mengusulkan nama yang sekiranya dapat sesuai dengan keadaan masa itu dan mengingat pula pergolakan-pergolakan di luar negeri sehabis Perang Dunia 1 disepakatilah nama Hizbul Wathan, yang berarti ‘Golongan Cinta Tanah Air’.
Nama Hizbul Wathan sendiri awalnya adalah nama madrasah yang didirikan oleh Kiai Mas Mansur di Surabaya pada 1916. Sejak amanah diberikan oleh Bagian Sekolahan PP Muhammadiyah, HW berkembang ke luar Jawa pada 1924 dan banyak utusan Muhammadiyah dari luar Jawa yang tinggal sementara di Yogyakarta untuk mempelajari kurikulum dasar HW.
Hafidz Muftisany dalam Ensiklopedia Islam: Mengenal Hizbul Wathan Hingga Mengenal Kalender Islam (2021) mencatat HW sempat meredup pada masa penjajahan Jepang, namun tokoh-tokoh mereka justru menonjol di organisasi bentukan Jepang seperti Keibodan, Seinendan, Peta, dan Hizbullah.
Sarbini, Tangan Kanan Soekarno
Sarbini kedua adalah Mohammad Sarbini Martodiharjo. Selain pernah menjadi anggota HW sebelum masa penjajahan Jepang, Sarbini Martodiharjo pernah menjadi guru HIS Muhammadiyah dan Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Banyumas. Demikian tulis M.T. Arifin dalam Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah Dalam Pendidikan (1987).
Pendidikan kepanduan di HW, mengantarkan Sarbini menjadi sosok yang menonjol saat dirinya bergabung dengan tentara sukarela yang dibuat Jepang, PETA (Pembela Tanah Air). Tak hanya Sarbini, para alumni HW seperti Kasman Singodimedjo, Soeharto, Soedirman, dan Yunus Anis tampil moncer di karier kemiliteran PETA.
Selama beberapa bulan, Sarbini masuk pendidikan PETA di Bogor sebelum akhirnya menjadi komandan kompi (chudancho) di Gombong dari 1943 hingga 1945. Pasca Proklamasi, Sarbini bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, Sarbini menjadi komandan batalion sekaligus komandan resimen dalam pertempuran Ambarawa. Setelah masa revolusi, Sarbini menjabat sebagai Panglima Tentara & Teritorial Brawijaya di Jawa Timur dari 1956 hingga 1959, dan panglima Diponegoro di Jawa Tengah dari 1961 hingga 1964.
Presiden Sukarno lalu mengangkat Sarbini sebagai Menteri Urusan Veteran dan Demobilisasi pada 27 Agustus 1964. Lantaran kedekatannya dengan Sukarno, dia dianggap sebagai Sukarnois dari kalangan Angkatan Darat.
“Sarbini sangat disegani di kalangan Angkatan Darat sebagai bekas Panglima divisi-divisi Brawijaya dan Diponegoro dan punya hubungan dekat dengan Sukarno,” tulis Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1986).
Sarbini lalu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan menggantikan Jenderal Nasution Kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966. Menjabat hanya sebulan karena digantikan oleh Soeharto, Sarbini lalu menjabat sebagai Menteri Demobilisasi dan Pensiunan Tentara dari Maret hingga Juli 1966 dan Menteri Veteran dan Demobilisasi dari Juli 1966 hingga 17 Oktober 1967.
Sarbini juga sempat menjabat sebagai Menteri Transmigrasi, Veteran dan Demobilisasi pada 1967 hingga 1968. Dalam Kabinet Pembangunan I, Sarbini jadi Menteri Transmigrasi dan Koperasi dari 1968 hingga 1971.
Balai Sarbini dan Pujian Soekarno
Pada Desember 1964, Sarbini dan pimpinan Legiun Veteran RI mengusulkan pembangunan gedung untuk para veteran dan meminta pembebasan tanah kavling di Semanggi.
Sekarang, kompleks di Semanggi itu terdiri dari tiga bangunan besar, yaitu Plaza Semanggi, Gedung Veteran dan sebuah gedung dengan namanya sendiri, Balai Sarbini.
Di akhir masa hidupnya, Sarbini menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka Indonesia. Sarbini dijuluki sebagai “bapak veteran Indonesia” karena kariernya di sejumlah organisasi dan kementerian yang mengurusi para veteran.
Presiden Soekarno juga seringkali memuji sosok Sarbini. Dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno, 30 September 1965, Pelengkap Nawaksara (2014), Soekarno memuji prinsip hidup Sarbini dalam mengurusi veteran dan mengingat jasa para pahlawan kemerdekaan yang gugur.
“Ya, saudara-saudara, sayalah memang, sebagai dikatakan oleh Mayor Jenderal Sarbini itu tadi, berulang-ulang berkata, hanya bangsa yang tahu menghargai pahlawan-pahlawannya dapat menjadi bangsa yang besar. Menghargai, menghormati. Hanya bangsa yang tahu menghargai dan menghormati pahlawan-pahlawannya dapat menjadi bangsa yang besar,” kata Soekarno. (afn)
Penulis: Alfian
Editor: Fauzan AS
Hits: 273