MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGAYARKATA– Tahun 2021 usianya belum genap satu bulan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 170 kejadian bencana, terbanyak adalah banjir berjumlah 114 kejadian dan tanah longsor sebanyak 30 kejadian.
Selain disebabkan curah hujan yang tinggi, bencana alam berupa banjir dan tanah longsor erat kaitannya dengan perilaku manusia. Menurut Sekretaris Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, Gatot Supangkat, berbagai kejadian bencana tersebut tidak bisa dilepaskan dari semangat pembangunan yang terjadi di Indonesia.
Perilaku manusia dalam motif ekonomi mengharuskan untuk melakukan pembangunan sebesar-besarnya dan secepat-cepatnya. Akan tetapi di sisi lain manusia lupa akan keadaan lingkungan tempat mereka mendapatkan income tersebut.
Dalam paradigma pembangunan berkelanjutan, menurut Gatot ada tiga aspek yang tidak bisa ditinggalkan, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Akan tetapi dari paradigma tersebut dalam praktiknya mengalami kepincangan, karena hanya mengedepankan aspek ekonomi, baru sosial dan lingkungan seringkali diabaikan.
“Untuk menjalankan perekonomian itu ada di lingkungan, jadi kalau lingkungannya rusak, tidak dipedulikan. Maka jangan berharap pembangunan akan sustainable,” tuturnya saat dihubungi melalui sambungan telpon repoter muhammadiyah.or.id pada (21/1).
Kesadaran Ecoteologis untuk Pembangunan Berkelanjutan
Gatot menginggatkan, jika manusia mulai melakukan aktifitas pemanfaatan lingkungan, maka saat itu juga harus memikirkan konservasinya. Meski disebutkan dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 9, bahwa peruntukan bumi untuk manusia. Tapi juga perlu diingat Allah SWT juga menurunkan QS ar-Rum ayat 41, sebagai batasan manusia dalam memanfaatkan alam.
Menjelaskan ayat tersebut, Gatot menyebut alam atau lingkungan peruntukkannya bagi manusia meliputi dua hal yaitu sebagai tempat tinggal dan tempat pemenuhan kebutuhan manusia. Namun pada nyatanya, manusia baru sadar akan batasan dan perintah konservasi alam ketika sudah terjadi bencana.
“Harusnya itu menata lingkungan dulu, dengan menata dan peduli pada lingkungan. Maka otomatis itu akan mengurangi risiko bencana,” imbuhnya
Melihat bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan, dalam pengamatannya, banjir di Kalsel disebabkan oleh hilangnya hutan. Bahkan data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional pada (20/1/2021) menyebut lebih dari 70 % wilayah Kalsel dikepung industri ekstraktif yang mengubah hutan menjadi lahan tambang.
Menyikapi Bencana Secara Komprehensif
Menyikapi bencana alam banjir dan tanah longsor, kata Gatot, harus dilakukan secara komprehensif mulai dari hulu sampai hilir. Terjadinya banjir tidak bisa dilepaskan dari Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sudah tidak sesuai dengan peruntukannya, serta keinginan dari Pemerintah Daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang memungkinkan mengubah sistem ekologi dan alam.
“Otonomi daerah harusnya diubah, memasukkan komponen lingkungan. Sehingga Pemda dengan otonomi tidak bisa membuat kebijakan yang melebihi daya dukung lingkungan disitu,” tegas Gatot.
Di sisi lain banjir dan tanah longsor juga disebabkan hilang atau digantinya jenis pohon endemik yang berada di hutan dengan tanaman palawija dan tumbuhan ekonomi lainnya. Hal itu menyebabkan, daya serap akar terhadap air menjadi rendah yang kemudian air tidak tertampung dan turun menjadi banjir dan membawa tanah longsor.
Dosen pertanian UMY ini menegaskan, bencana banjir dan alam yang lain juga disebabkan perilaku tidak adaptif terhadap lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat, perusahaan, bahkan pemerintah. Gatot berharap, kedepan pembangunan berkelanjutan jangan hanya menjadi jargon, tapi harus dipahami dengan benar oleh masyarakat, pengusaha, dan pemangku kepentingan.