MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Industri halal tengah bergiat dalam beberapa tahun belakangan. Gairah terhadap industri halal di Indonesia kian menggeliat. Apalagi sudah ada Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 terkait Jaminan Produk Halal. Indonesia naik ke urutan keempat pada sektor pengembangan ekosistem ekonomi dan syariah dalam Laporan Global Ekonomi 2020-2021,.
Industri halal juga memasuki babak baru dengan Permenperin No. 17 Tahun 2020 tentang Kawasan Industri Halal (KIH). Tak heran, Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin pada 2021 sempat menyampaikan harapannya agar Indonesia menjadi pusat industri produk halal dunia.
Di luar pertumbuhan positif industri halal, nyatanya Indonesia juga diharapkan supaya tidak terlampau kaku dalam menentukan standarisasi halal.
Pasalnya sebagai representasi negara muslim terbesar, standarisasi halal di Indonesia memberikan imbas tidak langsung pada kaum muslimin minoritas dan industri halal di negara berpenduduk mayoritas non muslim. Sebagai contoh, industri makanan halal di Jepang.
Implementasi Fikih Minoritas untuk Kaum Muslim Jepang
Dalam Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah bertajuk “Industri dan Wisata Halal”, Jumat (11/2), Profesor asal Kyushu University Japan, Nurchasanah Satomi Ogata mengeluhkan keadaan di atas.
Dia pun berharap fikih minoritas (fiqh al-aqaliyyat) ala Yusuf Al-Qardhawi turut menjadi pertimbangan dalam penyusunan standarisasi halal di samping acuan terhadap mazhab tertentu.
Sebab, ada masalah krusial dalam perspektif standarisasi halal yang sekarang berlaku jamak. Misalnya ada semacam kesepakatan umum yang melarang peralatan makan pernah terkontaminasi oleh bahan makanan haram.
Larangan kontaminasi zat haram pada piring, dapur, gudang, alat transportasi dan lain sebagainya hanya akan mempersempit pintu dakwah berbasis industri halal di negara minoritas muslim seperti Jepang.
“Umat muslim di negara Islam seperti Indonesia mudah membuat wisata halal dengan regulasi yang ketat. Tapi perlu diingat bahwa semakin ketat mereka [kaum muslim Indonesia] menerapkan standar halal yang rigid, dampaknya pada kaum muslim yang minoritas di negara lain menjadi berbeda, kalau bukan [maaf] ‘mencekik’ ” pesan Satomi.
6 Sebab Industri Halal di Jepang Sulit Berkembang
Di luar faktor aturan yang terlalu kaku, Satomi yang telah memperjuangkan sertifikasi halal bagi rumah makan dan berbagai restoran di Jepang sejak 2019 itu menyebut ada 6 faktor lain yang membuat industri halal tidak diminati.
Pertama, minimnya jumlah kaum muslimin di Jepang yang hanya berkisar di antara 0,1 persen dari 125,8 juta penduduk Jepang berdasarkan data tahun 2020.
Kedua, masih melekatnya citra yang tidak baik terhadap Islam akibat serangan teroris ke Gedung WTC, AS pada 11 September 2001, hingga dipenggalnya jurnalis Jepang, Kenji Goto oleh khawarij ISIS pada 2014. Akibatnya, buku-buku yang berisi narasi negatif terhadap Islam mendapat rating yang bagus di Jepang.
Ketiga, kurangnya sosialisasi terhadap industri halal sehingga menyebabkan praktek yang buruk. Satomi lalu mencontohkan satu restoran di Kyoto yang berkomitmen terhadap produk halal namun sekaligus memaksa karyawannya yang notabene non muslim untuk tidak memakan babi.
Keempat, mahalnya berbagai bahan makanan dan produk halal sehingga menjadi beban dan pertimbangan bagi restoran-restoran yang membuka pintu terhadap industri halal.
Kelima, minimnya inovasi dan alternatif terhadap standar lini industri bagi produk halal.
Keenam, adalah minimnya pemahaman terhadap kadar minimum alkohol yang berdampak pada makanan tradisional Jepang berbasis fermentasi seperti Shoyu, Ryourisyu, hingga Mirin.
Harapan Satomi Ogata Pada Muhammadiyah
Satomi yang merupakan anggota Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Jepang sekaligus alumni Universitas Muhammadiyah Surakarta ini berharap Muhammadiyah mengeluarkan fikih terkait industri halal yang ramah bagi kaum muslimin di negara mayoritas non muslim.
“Saya harapkan kepada ulama-ulama Muhammadiyah yang ada di Tarjih untuk membuat terobosan karena saya tahu Muhammadiyah itu tidak taklid pada satu mazhab apalagi kepada mazhab Syafi’i saja,” ucap Satomi.
Meskipun industri halal tidak diminati, dirinya menyebut peluang itu masih terbuka lebar mengingat jumlah umat Islam di Jepang mencapai 200 ribu jiwa dengan mayoritasnya umat muslim asal Indonesia yang berkisar di angka 30 persen.
Selain itu, wisatawan muslim terbesar di Jepang juga berasal dari Indonesia berdasarkan data dari tahun 2003-2019. Satomi tak lupa berpesan agar pemahaman terhadap produk halal diajarkan dengan baik kepada masyarakat agar tidak menimbulkan preseden negatif di negara non muslim.
“Jadi kami harapkan Muhammadiyah melakukan sosialisasi sesuai dengan kondisi yang ada di Jepang dan pemahaman (kadar minimal) alkohol yang benar sebelum berangkat ke Jepang. Para mahasiswa, pekerja, wisatawan perlu tahu dulu. Jangan sampai datang ke Jepang menolak (makanan tradisional) yang (dicurigai) ada (kandungan) alkoholnya meskipun menurut (standar) fatwa MUI itu halal,” pungkasnya.
Penulis: Afandi
Editor: Fauzan
Hits: 77