MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Perkuat literasi digital kalangan remaja, Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur menyebut era digital menyebabkan mental remaja banyak yang memudar, seperti luruhnya etos bekerja keras, kemandirian, ramah, gotong royong, dan menguatnya isu SARA, terlebih menjelang tahun politik 2024.
Indonesia sebagai Negara dengan tingkat kemajemukan yang padat, mengharuskan penghuninya untuk memiliki kepekaan sosial yang tinggi, saling menerima perbedaan, dan toleran. Sikap-sikap tersebut harus dimiliki oleh bangsa Indonesia, tidak terkecuali para remaja yang dihidup di dalamnya.
“Teman-teman harus peka terhadap perbedaan bak itu warna kulit dan lain-lain, termasuk dengan kelompok disabilitas menjadi penting, SARA, karena suku”. Ucapnya.
Dunia remaja yang seharusnya beragam dan banyak warna, namun karena adanya dunia maya yang diatur dengan mesin digital atau algoritma menjadikan dunia remaja itu sempit atau terdikotomi. Dikotomi akibat sempitnya bacaan dan tontonan di media digital atau dunia maya tidak bisa dipungkiri akan meluber ke dunia nyata.
Dikotomi tersebut acapkali menjadikan remaja enggan menerima perbedaan, mereka sering merasa benar sendiri, dan cenderung menyalahkan komunitas atau kelompok lain. Terlebih menjelang tahun politik 2024, kelompok remaja yang masih labil akan menjadi sasaran empuk pendenggung atau buzzer pada Pemilu 2024.
Di acara Seminar Pendidikan Literasi Media Bagi Remaja Masjid di DI. Yogyakarta yang diadakan Pusat Studi Muhammadiyah dan Kemenko PMK RI pada (17/7), Tri Hastuti menjelaskan bahwa, potensi media digital amat besar dalam pembelahan masyarakat akibat politik 2024.
Namun di sisi lain, media juga sebagai pemersatu atas itu melalui konten-konten yang bermanfaat. Mendekati tahun politik 2024, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini ingatkan kelompok remaja supaya tidak mudah terseret arus politik, lebih-lebih kelompok yang menggunakan isu agama sebagai tunggangan politiknya.
Kelompok remaja harus melek informasi, tidak gagap, dan mudah terkejut. Padahal, remaja sebagai aset masa depan bangsa tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dalam dikotomi tersebut. Mereka harus saling dipertemukan dengan segala perbedaan yang melingkupinya. Indonesia sebagai Negara dengan tingkat kemajemukan tinggi, oleh karenanya tidak mengakui perbedaan adalah sebuah ancaman tersendiri bagi keberlangsungan bangsa.
Hits: 13