MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Indonesia merupakan wilayah yang rentan mengalami bencana alam, mulai dari banjir, gempa bumi, Tsunami, gunung Meletus, angin topan, dan lain sebagainya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan bahwa perempuan lebih rentan menjadi korban dari bencana alam dibandingkan pria dewasa.
Mengapa demikian? dalam webinar yang digelar oleh MDMC PP Muhammadiyah yang digelar secara daring pada Rabu (05/10), Khotimun Susanti, PP Nasyiatul Aisyiyah mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan kenapa perempuan lebih rentan menjadi korban dari bencana alam, di antaranya adalah pada beberapa budaya perempuan dianggap tidak sama kedudukannya di dalam lingkup sosial, dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam agenda penanggulangan bencana, bahkan perempuan dilarang melakukan aktivitas-aktivitas tertentu misalnya perempuan dilarang memanjat pohon, lompat pagar, tidak dilatih berenang, atau perempuan tidak perlu belajar berenang karena dianggap tidak penting dan lain sebagainya.
Khotimun melanjutkan faktor lainnya adalah perempuan sering kali tidak hanya harus menyelamatkan dirinya tapi juga harus menyelamatkan orang lain di sekitarnya.
Khotimun mengatakan kita perlu melihat bahwa dalam penanggulangan bencana, gender policy sangat penting ketika kita membicarakan resiko yang sangat besar terhadap perempuan. Maka dari itu kebijakan berbasis gender dalam penanggulangan berbasis bencana sangat penting terutama keterlibatan perempuan dalam semua tahap.
“Penanggulangan bencana itu perlu dilakukan dimulai dari preparedness, mitigation, hingga response, kemudian rehabilitasi semua aspek itu perlu memasukkan aspek gender. ini untuk memastikan bahwa keterlibatan, pengalaman, pengetahuan dan juga kebutuhan dari perempuan itu dapat terakomodasi di dalamnya karena berangkat dari pengalaman hidup terkadang sensitivitas hidup itu berbeda dan apa yang dialami oleh perempuan dalam hidupnya itu yang berpengaruh juga pada keselamatan dia nantinya ketika dia dalam situasi darurat,” jelasnya.
Menurut Khotimun, ada kepentingan yang sama baik laki-laki maupun perempuan untuk memahami tentang kawasan yang rawan tanah bergerak, perempuan harus dilibatkan sebagai subjek yang setara dalam agenda pengurangan resiko bencana.Sehingga ia bisa mengetahui bagaimana ia mengambil keputusan terhadap situasi tersebut.
“Kami menemukan bahwa sebetulnya perempuan mempunyai kontribusi yang besar dalam penanggulangan resiko bencana, namun kadang-kadang itu tidak dianggap sebagai bagian dari upaya penanggulangan bencana misalnya apa kontribusinya terhadap penghijauan, kontribusinya terhadap lingkungan, pemanfaatan lahan dan lain sebagainya, itu yang terkadang tidak dipetakan sebagai bagian dalam upaya penanggulangan resiko bencana,” ungkapnya.
Khotimun mengimbau agar pengalaman pengetahuan perempuan harus lebih banyak dieksplorasi, diangkat kemudian diberdayakan termasuk yang berkaitan dengan tanah bergerak. Selain itu, perlu membangun sensitivitas semua pihak terhadap kebutuhan perempuan dalam penanggulangan bencana dalam sistem komunikasi kesiapsiagaan sistem peringatan dini berbasis komunikasi dan lain-lain.
“Jadi keterlibatan ini sangat mungkin melibatkan perempuan sebagai subjek yang setara dalam perencanaan pembangunan termasuk penataan ruang pemanfaatan lahan dan agenda lainnya yang berpotensi beresiko terjadinya tanah bergerak. Supaya awareness dan kesiapsiagaan perempuan juga meningkat kemudian membangun kapasitas keberdayaan dan kepemimpinan perempuan dalam berbagai agenda penanggulangan bencana termasuk terkait resiko karena bergerak salah satunya adalah mengaktivasi perkumpulan sosial perempuan yang ada di masyarakat,” pungkasnya. (Mutia/Syifa)
Hits: 48