MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Pemahaman ekstrimisme dan radikalisme beragama di kalangan pemuda tidak efektif dihadapi dengan pendekatan militeristik, demikian ungkap Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Dalam acara Catatan Najwa di Narasi Tv, Jumat (9/4) Abdul Mu’ti menawarkan dua solusi kultural bagi pemerintah maupun kelompok masyarakat yang dianggapnya lebih efektif menahan laju ekstrimisme.
Pertama, Abdul Mu’ti mengusulkan agar narasi terkait moderasi beragama dimasifkan dalam jumlah melimpah dengan pengemasan yang sederhana, mudah dipahami dan memiliki pesan kuat yang membekas.
Kurangnya ilmu terhadap akses pemahaman yang benar mengakibatkan seseorang terjerumus pada pemahaman sempit yang lepas dari konteks hukum, sejarah, konteks ruang, dan konteks tempat.
“Akhir-akhir ini para pelaku bukan dari kelompok (ekonomi) yang tidak beruntung, karena itu bisa muncul dari ideologi tertentu. Banyak orang yang menjadi dongkol, karena pemahaman agamanya dangkal. Kalau pemahaman agamanya luas, Insyaallah dia tidak mudah dongkol karena dia bisa melihat sesuatu dari banyak arah,” jelas Mu’ti.
Tak cukup dengan solusi pertama, Abdul Mu’ti juga mengusulkan agar pemerintah maupun unsur publik memperbanyak fasilitas berbasis passion (minat/hobi) yang menumbuhkan interaksi sosial.
Usulan ini terutama melihat pada fakta bahwa hampir seluruh ekstrimis adalah orang-orang yang dikenal sebagai orang yang menutup diri dari pergaulan dengan masyarakat.
“Dalam banyak hal, orang itu menjadi ekstrim karena ruang aktualisasinya kurang. Karena itu yang berkaitan dengan olah rasa, olah raga dan olah fikir ini perlu kita berikan ruang yang lebih banyak,” usulnya.
“Karena kalau ruang aktualisasi ini kita buka, kemudian ruang pertemuan dengan sebanyak mungkin orang dengan latar belakang yang berbeda kita berikan kepada generasi muda, saya kok punya keyakinan pendekatan sosial seperti ini akan punya dampak terhadap munculnya generasi yang terbuka,” ujar Mu’ti optimis.
“Inklusivisme itu dalam banyak studi, banyak dijadikan bagian dari cara kita mereduksi ekstrimisme dan inklusivisme itu bisa dibangun dengan pendekatan-pendekatan yang bersifat sosial sehingga semangat kekeluargaan dan upaya untuk menginklusi siapapun yang ada dalam sasaran kita itu menjadi salah satu cara yang bersifat kultural,” jelasnya lebih lanjut.
Dua hal di atas yakni memperluas akses pengetahuan dan pergaulan, diyakini Abdul Mu’ti mampu menjadi salah satu cara paling efektif. Sebab, kurangnya dua hal tersebut mengakibatkan para pemuda terjerumus pada pemahaman radikal dan ekstrim.
“Karena kurang ilmu. Kurang ilmu itu karena kurang baca, kemudian kurang ilmu karena kurang gaul, makanya kurang ilmu dan kurang gaul jadinya kurang ajar,” tegas Mu’ti.
Hits: 0