MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Selain sains dan teknologi, pemahaman dan penafsiran agama juga mengalami disrupsi. Hal tersebut terjadi lantaran ketika pemahaman keagamaan di tengah pusaran perubahan politik, ekonomi, teknologi, dan budaya, agama seakan kehilangan daya keseimbangan dan fleksibilitas. Fenomena disrupsi dalam pemahaman keagamaan dapat terlihat pada sikap penganutnya yang mudah tersinggung, despotic interpretation, moral monism.
“Saat ini pandangan keagamaan mengalami disrupsi. Nah ketika kita mau bicara moderasi ini ‘kan karena ada disrupsi dimana-mana: dalam pemahaman keagamaan, penafsiran keagamaan, lalu kita ingin mengembalikan lagi ke tengah, jangan terlalu kiri dan jangan terlalu kanan,” kata Amin Abdullah dalam Seminar Munas Tarjih ke-31 tentang Moderasi Keberagamaan Indonesia Berkemajuan pada Sabtu (5/12).
Menjawab Tantangan Paham Keagamaan
Dalam menjawab tantangan disrupsi pemahaman keagamaan ini, Amin mengatakan bahwa Majelis Tarjih memiliki modal penting yaitu trilogi pendekatan yang dikenal dengan bayani, burhani, dan irfani. Ketiga epistemologi Islam tersebut secara nampak memang memiliki basis dan karakter yang berbeda. Pengetahuan bayani didasarkan pada teks, burhani pada rasio, dan irfani pada intuisi. Akan lebih baik jika ketiganya dijalin berkelindan dan mencari tali sintesa agar lebih fungsional. Karenanya menurut Amin, Moderasi Keberagamaan dalam konteks Indonesia Berkemajuan akan sulit dicapai jika pendekatannya hanya mengandalkan corak pendekatan monodisiplin.
“Di dalam memahami realitas, mau fikih atau kalam, harus keluar dari situ (monodisiplin). Karena moderasi itu diperlukan pengetahuan yang luas. Agar luas, ilmunya jangan terjebak pada monodisiplin. Harus bergerak ke arah multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin. Jadi menggabungkan berbagai ilmu, misalnya ilmu sosial atau humanities dengan ilmu-ilmu keagamaan,” tutur mantan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini.
Amin kemudian menerangkan aspek-aspek bayani dalam hal moderasi keberagamaan. Argumen bayani tentang moderasi keberagamaan dalam konteks keindonesiaan terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki tekstur masyarakat multikultural, multietnis, dan multi agama, salah satunya QS. Al-Hujurat ayat 11-13. Ayat-ayat tersebut, ungkap Amin, memberi arahan bahwa dalam kehidupan masyarakat majemuk seperti Indonesia sikap manusia Muslim tidak lain dan tidak bukan adalah toleran, tasamuh, saling berkenalan.
“Tapi, tidak semua teks dipahami seperti yang saya uraikan. Banyak mufassir lain yang tidak bisa memahami seperti itu. Tafsir Jalalain, misalnya, ketika menafsirkan ghair al-maghdhubi ‘alayhim wa la al-dhaallin, coba dicek. Artinya di sini, para mufassir berbenturan di dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an,” ungkapnya.
Karena terjadi perbedaan intepretasi terhadap pemahaman teks, maka menurut mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga ini diperlukan peran burhani untuk menunjukkan betapa pentingnya hidup damai dan harmonis di tengah kepelbagaian dan kemajemukan. Amin menerangkan argumen burhani melibatkan empat elemen dasar, yaitu: budaya dan agama; pendidikan; masyarakat; dan konstitusi.
Amin menerangkan bahwa seringkali gabungan pola pikir bayani yang sifatnya subyektif dengan pola pikir burhani yang coraknya obyektif belum cukup mampu menjamin terwujudnya moderasi kebergamaan di Indonesia. Persoalan moderasi keberagamaan harus sampai ke dalam hati dan didialogkan dengan hati nurani atau irfani yang karakternya intersubyektif. Bagi Amin, dunia text (naql) maupun dunia akal (aql) hampir-hampir kandas atau tidak ada manfaat apabila irfani tidak berjalan dalam laku aktivitas sehari-hari.
“Wilayah irfani ini yang paling berat. Apalagi di era media sosial yang semacam ini masyaAllah. Wajah kita itu nampak langsung bagaimana apakah kita itu penyabar atau pemarah. Itu di seluruh dunia tahu. Kalau sudah begini ini irfani,” tutur Amin.
Amin menerangkan bahwa suara hati nurani atau the innermost voice of the heart adalah alat navigasi yang berfungsi sebagai alat kontrol terakhir untuk mengecek apakah pada dataran dunia praksis sosial bermasyarakat, beragama, bernegara dan berbangsa pola pikir nalar bayani dan pola pikir nalar burhani dapat berjalan on the right tract atau tidak? (ilham)
Hits: 121