MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANDUNG—Kepemimpinan dan keterwakilan perempuan di bidang legislatif maupun eksekutif membawa angin segar bagi kualitas demokrasi suatu negara yang lebih sehat. Pasalnya, kehadiran perempuan sedikit banyak akan berpengaruh terhadap arus kebijakan negara, terutama terkait isu gender dan hal-hal lain yang menyangkut perempuan.
Hadirnya perempuan sebagai pembuat kebijakan akan menciptakan lingkungan kerja yang ramah bagi semua gender. Misalnya menghadirkan ruang khusus bagi ibu menyusui di fasilitas-fasilitas umum. Peraturan-peraturan lain mengenai pemberian ASI eksklusif ini sebenarnya mendukung perempuan untuk tetap bisa bekerja, sekaligus menjalankan peran domestiknya.
“Partisipasi perempuan dapat berkontribusi dalam penyediaan fasilitas umum untuk kepentingan perempuan misalnya mengeluarkan Perda tentang tempat ibu menyusui di tempat umum dan lain-lain,” ujar Khoirunnisa Nur Agustyati dalam Gerakan Subuh Mengaji yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Barat pada Kamis (17/03).
Proporsi laki-laki dan perempuan di jabatan struktural kementerian selama ini cenderung timpang. Hanya sekitar 22% jabatan struktural yang diisi perempuan. Kehadiran perempuan dalam jabatan struktural sangat dibutuhkan untuk memperkuat kebijakan yang lebih adil dan merata. Misalnya, lama waktu cuti melahirkan yang diatur oleh Undang-undang adalah tiga bulan. Satu setengah bulan cuti sebelum melahirkan dan satu setengah bulan lagi setelah bersalin.
Padahal, bila ingin terhindar dari komplikasi penyakit, cuti melahirkan seharusnya 40 minggu atau kira-kira sepuluh bulan. “Hal-hal tersebut dapat didorong ketika ada perempuan ada di sana sebab itu pengalaman-pengalaman perempuan. Itu sebenarnya representasi perempuan ada di politik,” tutur Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini.
Khoirunnisa menuturkan kultur politik yang begitu masih melekat dalam konstruksi tradisi masyarakat Indonesia. Hal itu dipengaruhi oleh kompetisi yang cenderung ketat dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaannya, hukum rimba dalam organisasi politik yang masih sering kali terjadi, dan berbagai perspektif negatif yang masih tertanam kuat.
Khoirunnisa yakin bahwa kehadiran perempuan dalam perpolitikan nasional sedikit banyak akan mengubah citra publik. “Dengan adanya perempuan di lembaga eksekutif atau legislatif harapannya bisa mentransformasi wajah perpolitikan kita jadi lebih positif di mata masyarakat. Ini untuk menghilangkan stigma bahwa politik itu kotor, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Hits: 2